Oleh
Farah Adiba Nailul Muna
Aku terlahir dengan tubuh sempurna dan balutan darah di sekujur tubuh, dengan tangis yang menjerit. Diiringi isak tangis bahagia kedua orang tua dan orang-orang tersayang yang ada di sekelilingku. Suara merdu adzan berkumandang di telinga kananku. Menggetarkan hati orang-orang yang saat itu sedang mendengar. Dengan Melihat ke sekeliling ruang, walau saat itu aku belum mengerti apa-apa, tapi Allah menuntun nuraniku untuk faham akan semuanya. Waktu itu, aku tak pernah mengerti bagaimana aku akan melewati hari-hariku mendatang. Aku hanya mampu terbaring di atas kasur, sesekali mengumbar senyuman lucu dan terkadang tangisan nakal keluar dari mulut.
Tahun demi tahun berganti, menurut cerita yang kudengar dari kedua orangtuaku, aku mulai bisa berjalan namun belum sempurna. Kadang terjatuh, tapi aku bangga, perkembanganku begitu baik. Sepatah, dua patah kata telah mampu ku ucap saat itu. Aku mulai sering belajar memahami apa yang terjadi di sekitar. Saat aku belajar berjalan dengan senyuman bahagaia. Melihat betapa gembiranya dan senyuman bahagia kedua orangtua.
Memasuki masa anak-anak yang tak pernah lepas dari permainan. Aku belajar mengenal lingkunganku, orang-orang sekitar, dan mengenali apa yang terjadi pada diriku. Sering kali bertingkah aneh dan lucu, tak salah jika mereka kadang memarahiku. Tak meninggalkan kebiasaan itu, aku tumbuh menjadi anak yang periang, bermain bersama teman-teman dan kadang tak pernah kenal waktu.
Seiring waktu berputar, aku tak pernah berhenti mengisahkan isi hatiku. Hidupku penuh warna dan canda tawa, suka, duka slalu kualami. Bersama indahnya persahabatan dan kasih sayang. Semakin hari semakin aku memahami perkembangan hidupku, memahami diriku. Aku telah mengenal bagaimana aku harus berteman, bermain bersama, melakukan apa saja yang membuatku bahagia. Sampai akhirnya kecelakaan itu mengharuskanku menghentikan semua keceriaanku selama beberapa lama. Kecelakaan saat aku bersepeda, tiba-tiba aku terserempet motor yang sedang melaju cepat.
Ketika aku memasuki usia remaja. Terlepas dari semua kebiasaan masa anak-anak. Aku bisa mengerti lingkungan luas, aku telah berani bermimpi. Mimpi akan masa depan dan hidupku untuk diriku dan orang-orang tersayang. Aku harus bisa merengkuh dunia. Suatu keinginan yang menakjubkan. Hebat kan!
Tak cukup hanya dengan belajar dan belajar, semua kegiatan bersama teman-teman tak pernah kutinggalkan. Berlibur bersama, refreshing, hang-out bareng, dan semua kegiatan itu slalu kulakukan. Untuk melepas penat dan mencari inpirasi.
Tak hanya itu, aku mulai belajar mengenal agama dan Tuhanku. Tak pernah kutinggalkan semua yang telah tertulis dan yang telah diajarkan kedua orangtuaku. Mereka tak pernah membiarkanku melupakan kewajiban itu, semuanya harus kulakukan dengan sempurna. Aku beruntung, aku dididik di lingkungan keluarga beragama. Yang mengenal islam secara utuh.
Tentang cita-cita, mimpi, sastra, serta jiwa. Ketertarikanku terhadap dunia sastra dan menulis berawal dari sebuah buku karangan Budiman Al Hanif. Entah apa judul buku itu, aku tak mengingatnya sama sekali. Karena buku itu hilang entah kemana. Sesal kurasakan, buku yang telah membuatku berani bermimpi dan mewujudkan impianku tlah sirna dari hadapanku. Buku itu pertama kali kubeli dengan uang sakuku sendiri dan telah membuatku termotivasi untuk menciptakan mimpi, kini hilang sudah. Untung memorinya sudah kisimpan dalam memori otakku.
Cerita hidup ini tak pernah berhenti sampai kita mati. Aku semakin sulit mengungkapkan semua isi hatiku. Aku lelah menitikkan air mata. Dan yang bisa kulakukan hanya mengungkapkan dengan kata-kata. Tak ada ruginya melakukan semua itu, kini semua isi hatiku menjadi bait-bait puisi yang indah. Dan beberapa telah dimuat di beberapa surat kabar dan majalah. Aku semakin semangat untuk terus mengekspresikan mimpi-mimpiku.
Namun…Hidup ini tak lepas dari sandiwara…Saat halang dan rintang menghampiri hidup dan mimpiku…
Setiap waktu dalam hidupku, lebih banyak kuhabiskan untuk semua mimpi-mimpiku, sampai aku melupakan orang-orang yang kusayang. Orang-orang yang slalu membuatku tersenyum ceria. Sampai saat duka menghampiriku, saat aku kehilangan orang yang kusayangi untuk slamanya. Tak hanya sampai disitu, mimpi yang slama ini kubangun dengan susah payah, kini terbengkalai, tak ada hasrat sekalipun untuk kembali memainkan kembali jemari-jemari tanganku untuk melukiskan bait-bait puisi di laptopku.
Tujuh hari pertama, air mata tak henti mengalir di pipi, walau tubuh ini lunglai dan mulai terlelap sekalipun. Putus asa, kesepian, depresi, tanpa semangat hiduppun sepat meracuni benakku, meskipun aku slalu mencoba untuk bangkit dari petaka ini. Disinilah aku memahami bahwa seperti inilah dunia yang fana itu. Ternyata hidup ini berat dan sulit untuk dimengerti. Hal inilah yang telah membuatku melupakan semua mimpiku, dan mungkin ini akan menjadi luka tersendiri yang tak kan pernah terhapuskan.
Berkali-kali bayangan seseorang itu datang di depanku. Sayang semua hanya bayangan semu semata. Bayangan semu yang slalu mengingatkanku akan masa lalu dan semua mimpiku.
Saat senyuman hangat tak pernah terlihat lagi, saat tangan halusnya tak pernah menyentuhku lagi, saat tanganku tak mampu menjangkaunya lagi, saat dunia ini seakan jadi ancaman bagiku. Aku semakin tak bisa menerima semua ini. Ya Tuhan, apakah harus ku terima semua ini?. Ijinkan aku menangis!!
Ijinkan Aku Menangis
Kini kau pergi jauh
Hingga tanganku tak mampu memelukmu
Hingga kakiku tak mampu mengejarmu
Hingga mataku tak mampu menatapmu
Hingga teriak panggilku tak mampu kau dengar
Ijinkan aku menangis
Biarlah airmata ini
Jadi samudra,
Mengantarku berenang
Mencarimu
“Tapi surga itu di langit”
Dan hanya bait-bait puisi yang slalu kulukiskan untuk semua ini. Saat jiwa tak mampu menahan semua beban yang ada. Dan airmata yang jatuh hanya lukisan raga sesaat. Tak akan pernah ada habisnya untuk membayangkan kesedihan ini. “Kebijaksanaan adalah sebuah keajaiban yang dapat mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan”, itulah sepenggal kalimat dari Abraham Lincoln yang memotivasiku untuk berfikir lebih dewasa dan bijaksana.
“Every stories has an end…But in Life every endings is just a new beginning”
-Up Town Girl movie-
Rasa syukur tak henti terucap saat kini aku kembali seperti dulu. Setelah berbulan-bulan terperangkap dalam kesedihan, ketika kini ku temukan orang-orang yang kusayangi yang selalu membuatku melupakan kesedihanku, memberikan motivasi, dan do’a.
Bagiku semuanya telah berlalu dan telah tertutup rapat dalam buku biru yang mengharu biru. Kini, aku buka lembaran putih suci dalam hidupku. Mimpi, harapan, cita-cita, dan doa telah tertulis di dalamnya. Mimpi itu terlukis kembali seperti tetesan embun yang menyambut tiap pagi yang kulalui. Hari ini, esok, dan setiap hari yang kulalui akan dihiasi oleh mimpi-mimpi indah. Mimpi untuk diriku dan semua orang yang kusayangi.
Tak kuasa aku menahan air mata, saat kutuliskan semua cerita ini. Dalam linangan air mata di malam Ramadan, dihiasi pendar bintang-bintang Ramadan. Ku ucapkan do’a dan pengharapan.
“Ya Allah, tunjukkanlah kembali aku ke jalanmu yang lurus. Agar aku bisa memulai langkah-langkah yang kulalui dengan senyuman bahagia. Ya Allah, anugrahilah aku dan orang-orang yang kusayangi dengan kasih dan cintaMu. Karena ku yakin, cinta-Mu melebihi dari apa yang kupahami.”
Dan tak ada yang lebih indah dalam hidup ini selain membuatnya lebih berwarna dan bermakna. Hanya Tuhan yang berhak atas hidup ini, dan kita hanya hambaNya yang harus melakukan semua yang telah tertulis dalam jiwa dunia.
“Disela usaha yang disertai do’a…Selalu ada goda dan coba. Namun, bukan berarti Allah membenci kita…Itu hanyalah ujian yang diberikan kepada hambaNya yang dipercaya untuk menyelesikannya.
Oleh
Farah Adiba Nailul Muna
Aku terlahir dengan tubuh sempurna dan balutan darah di sekujur tubuh, dengan tangis yang menjerit. Diiringi isak tangis bahagia kedua orang tua dan orang-orang tersayang yang ada di sekelilingku. Suara merdu adzan berkumandang di telinga kananku. Menggetarkan hati orang-orang yang saat itu sedang mendengar. Dengan Melihat ke sekeliling ruang, walau saat itu aku belum mengerti apa-apa, tapi Allah menuntun nuraniku untuk faham akan semuanya. Waktu itu, aku tak pernah mengerti bagaimana aku akan melewati hari-hariku mendatang. Aku hanya mampu terbaring di atas kasur, sesekali mengumbar senyuman lucu dan terkadang tangisan nakal keluar dari mulut.
Tahun demi tahun berganti, menurut cerita yang kudengar dari kedua orangtuaku, aku mulai bisa berjalan namun belum sempurna. Kadang terjatuh, tapi aku bangga, perkembanganku begitu baik. Sepatah, dua patah kata telah mampu ku ucap saat itu. Aku mulai sering belajar memahami apa yang terjadi di sekitar. Saat aku belajar berjalan dengan senyuman bahagaia. Melihat betapa gembiranya dan senyuman bahagia kedua orangtua.
Memasuki masa anak-anak yang tak pernah lepas dari permainan. Aku belajar mengenal lingkunganku, orang-orang sekitar, dan mengenali apa yang terjadi pada diriku. Sering kali bertingkah aneh dan lucu, tak salah jika mereka kadang memarahiku. Tak meninggalkan kebiasaan itu, aku tumbuh menjadi anak yang periang, bermain bersama teman-teman dan kadang tak pernah kenal waktu.
Seiring waktu berputar, aku tak pernah berhenti mengisahkan isi hatiku. Hidupku penuh warna dan canda tawa, suka, duka slalu kualami. Bersama indahnya persahabatan dan kasih sayang. Semakin hari semakin aku memahami perkembangan hidupku, memahami diriku. Aku telah mengenal bagaimana aku harus berteman, bermain bersama, melakukan apa saja yang membuatku bahagia. Sampai akhirnya kecelakaan itu mengharuskanku menghentikan semua keceriaanku selama beberapa lama. Kecelakaan saat aku bersepeda, tiba-tiba aku terserempet motor yang sedang melaju cepat.
Ketika aku memasuki usia remaja. Terlepas dari semua kebiasaan masa anak-anak. Aku bisa mengerti lingkungan luas, aku telah berani bermimpi. Mimpi akan masa depan dan hidupku untuk diriku dan orang-orang tersayang. Aku harus bisa merengkuh dunia. Suatu keinginan yang menakjubkan. Hebat kan!
Tak cukup hanya dengan belajar dan belajar, semua kegiatan bersama teman-teman tak pernah kutinggalkan. Berlibur bersama, refreshing, hang-out bareng, dan semua kegiatan itu slalu kulakukan. Untuk melepas penat dan mencari inpirasi.
Tak hanya itu, aku mulai belajar mengenal agama dan Tuhanku. Tak pernah kutinggalkan semua yang telah tertulis dan yang telah diajarkan kedua orangtuaku. Mereka tak pernah membiarkanku melupakan kewajiban itu, semuanya harus kulakukan dengan sempurna. Aku beruntung, aku dididik di lingkungan keluarga beragama. Yang mengenal islam secara utuh.
Tentang cita-cita, mimpi, sastra, serta jiwa. Ketertarikanku terhadap dunia sastra dan menulis berawal dari sebuah buku karangan Budiman Al Hanif. Entah apa judul buku itu, aku tak mengingatnya sama sekali. Karena buku itu hilang entah kemana. Sesal kurasakan, buku yang telah membuatku berani bermimpi dan mewujudkan impianku tlah sirna dari hadapanku. Buku itu pertama kali kubeli dengan uang sakuku sendiri dan telah membuatku termotivasi untuk menciptakan mimpi, kini hilang sudah. Untung memorinya sudah kisimpan dalam memori otakku.
Cerita hidup ini tak pernah berhenti sampai kita mati. Aku semakin sulit mengungkapkan semua isi hatiku. Aku lelah menitikkan air mata. Dan yang bisa kulakukan hanya mengungkapkan dengan kata-kata. Tak ada ruginya melakukan semua itu, kini semua isi hatiku menjadi bait-bait puisi yang indah. Dan beberapa telah dimuat di beberapa surat kabar dan majalah. Aku semakin semangat untuk terus mengekspresikan mimpi-mimpiku.
Namun…Hidup ini tak lepas dari sandiwara…Saat halang dan rintang menghampiri hidup dan mimpiku…
Setiap waktu dalam hidupku, lebih banyak kuhabiskan untuk semua mimpi-mimpiku, sampai aku melupakan orang-orang yang kusayang. Orang-orang yang slalu membuatku tersenyum ceria. Sampai saat duka menghampiriku, saat aku kehilangan orang yang kusayangi untuk slamanya. Tak hanya sampai disitu, mimpi yang slama ini kubangun dengan susah payah, kini terbengkalai, tak ada hasrat sekalipun untuk kembali memainkan kembali jemari-jemari tanganku untuk melukiskan bait-bait puisi di laptopku.
Tujuh hari pertama, air mata tak henti mengalir di pipi, walau tubuh ini lunglai dan mulai terlelap sekalipun. Putus asa, kesepian, depresi, tanpa semangat hiduppun sepat meracuni benakku, meskipun aku slalu mencoba untuk bangkit dari petaka ini. Disinilah aku memahami bahwa seperti inilah dunia yang fana itu. Ternyata hidup ini berat dan sulit untuk dimengerti. Hal inilah yang telah membuatku melupakan semua mimpiku, dan mungkin ini akan menjadi luka tersendiri yang tak kan pernah terhapuskan.
Berkali-kali bayangan seseorang itu datang di depanku. Sayang semua hanya bayangan semu semata. Bayangan semu yang slalu mengingatkanku akan masa lalu dan semua mimpiku.
Saat senyuman hangat tak pernah terlihat lagi, saat tangan halusnya tak pernah menyentuhku lagi, saat tanganku tak mampu menjangkaunya lagi, saat dunia ini seakan jadi ancaman bagiku. Aku semakin tak bisa menerima semua ini. Ya Tuhan, apakah harus ku terima semua ini?. Ijinkan aku menangis!!
Ijinkan Aku Menangis
Kini kau pergi jauh
Hingga tanganku tak mampu memelukmu
Hingga kakiku tak mampu mengejarmu
Hingga mataku tak mampu menatapmu
Hingga teriak panggilku tak mampu kau dengar
Ijinkan aku menangis
Biarlah airmata ini
Jadi samudra,
Mengantarku berenang
Mencarimu
“Tapi surga itu di langit”
Dan hanya bait-bait puisi yang slalu kulukiskan untuk semua ini. Saat jiwa tak mampu menahan semua beban yang ada. Dan airmata yang jatuh hanya lukisan raga sesaat. Tak akan pernah ada habisnya untuk membayangkan kesedihan ini. “Kebijaksanaan adalah sebuah keajaiban yang dapat mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan”, itulah sepenggal kalimat dari Abraham Lincoln yang memotivasiku untuk berfikir lebih dewasa dan bijaksana.
“Every stories has an end…But in Life every endings is just a new beginning”
-Up Town Girl movie-
Rasa syukur tak henti terucap saat kini aku kembali seperti dulu. Setelah berbulan-bulan terperangkap dalam kesedihan, ketika kini ku temukan orang-orang yang kusayangi yang selalu membuatku melupakan kesedihanku, memberikan motivasi, dan do’a.
Bagiku semuanya telah berlalu dan telah tertutup rapat dalam buku biru yang mengharu biru. Kini, aku buka lembaran putih suci dalam hidupku. Mimpi, harapan, cita-cita, dan doa telah tertulis di dalamnya. Mimpi itu terlukis kembali seperti tetesan embun yang menyambut tiap pagi yang kulalui. Hari ini, esok, dan setiap hari yang kulalui akan dihiasi oleh mimpi-mimpi indah. Mimpi untuk diriku dan semua orang yang kusayangi.
Tak kuasa aku menahan air mata, saat kutuliskan semua cerita ini. Dalam linangan air mata di malam Ramadan, dihiasi pendar bintang-bintang Ramadan. Ku ucapkan do’a dan pengharapan.
“Ya Allah, tunjukkanlah kembali aku ke jalanmu yang lurus. Agar aku bisa memulai langkah-langkah yang kulalui dengan senyuman bahagia. Ya Allah, anugrahilah aku dan orang-orang yang kusayangi dengan kasih dan cintaMu. Karena ku yakin, cinta-Mu melebihi dari apa yang kupahami.”
Dan tak ada yang lebih indah dalam hidup ini selain membuatnya lebih berwarna dan bermakna. Hanya Tuhan yang berhak atas hidup ini, dan kita hanya hambaNya yang harus melakukan semua yang telah tertulis dalam jiwa dunia.
“Disela usaha yang disertai do’a…Selalu ada goda dan coba. Namun, bukan berarti Allah membenci kita…Itu hanyalah ujian yang diberikan kepada hambaNya yang dipercaya untuk menyelesikannya.

