Seneng deh kalau lagi ngebayangin tentang masa kecil dulu. Sekedar mengingat-ingat dan membandingkan antara masa kecil dulu dan masa sekarang. Hmmh, oke coba lihat yah satu persatu yang mungkin hilang dari peradaban. Haha. Lebay banget. Kebersamaan, kesederhanaan, kejujuran, dan ketekunan. Dulu nih, waktu masih kecil biasanya asik banget kalau lagi maen bareng temen-temen. Walaupun masih suka berantem. Kadang kalau lagi kejar-kejaran rebutan mainan sama temen pas kecil dulu suka nangis kalau lagi jatuh, nah udah kayak gitu pasti terpancar wajah tegang para ibu yang sedang mengawasi kita sambil bilang, ‘Dek, hati-hati dong kalau maen. Jangan rebutan maenan gitu. Pinjem yang baik, maennya gantian!’. Haha. Terharu deh kalau inget kayak gitu, masih kental banget kan kebersamaannya. Waktu kecil dulu juga sering tuh duduk di teras rumah, mainan boneka, ngarang-ngarang cerita aneh dan gak jelas. Mulai boneka yang jadi penjual rujak sampai demam teletubbies yang seolah mewajibkan anak untuk menceritakan setiap episodenya pada ibu. Hanya tawa kecil dan menjadi pendengar yang baik ketika menceritakan sesuatu sudah cukup membuat aku bahagia. Waktu itu. Waktu berjalan cepat dan masa lalu telah terlewat. Tapi, hidup adalah pilihan. Apapun yang kita pilih di masa depan, dan mau kita kenang atau buang masa lalu. Itu pilihan.
Cerita ini aku tulis setelah pulang dari rumah salah seorang saudara dari Jogja. Aku biasa memanggilnya ‘bulek’, aku tak tahu artinya sih tapi ya setidaknya itu mewakili kedekatan kami. Aku sering menghabiskan waktu berjam-jam di kamar kostnya yang cukup luas itu hanya untuk share dan melepas penat. Biasanya sore setelah pulang sekolah hingga malam hari. Entah kenapa aku merasa nyaman disana, seperti ada atmosfer positif yang mendorongku untuk selalu melakukan apapun dengan maksimal. Sore itu, seperti biasanya aku menonton tv sambil mengerjakan tugas sekolah.
“Far, kok tumben belajar. Ha ha ha.” Kata bulek yang baru selesai mencuci piring.
“Wah ngledek nih! Ya biar pinter lah. Aku kan emang rajin dari dulu.”
“ha ha ha. Sok serius ah, belajar kok sambil sms an.”
“JANGAN GANGGU!” kataku dengan keras.
“ha ha ha”
Meski sesekali terpaku pada tayangan televisi, akhirnya tugas sekolah itu selesai juga. Ya, butuh waktu dua jam menyelesaikan 50 soal matematika dan sosiologi. Akupun membereskan buku-buku dan memasukkannya ke dalam tas. Kulihat jam dinding di atas tembok yang ternyata sudah menunjukkan pukul 16.30 dan aku bergegas mengambil air wudhu kemudian sholat. Hmh, tiba saatnya melepas lelah dengan berbaring di atas kasur dan menyalakan mp3 dari handphone.
“Ojo serius-serius to lak ngerjakne. Mumet ngko!” Kataku menjaili bulek yang sedang menginput data ke laptop.
“Halah, wes arepe rampung iki, Far.”
“Ah, sebentar lagi kuliah ya. Gak terasa udah 3 tahun di SMA.”
“Iya ya. Hmmh, jadi ambil jurusan apa? Dimana?”
“Mau ambil komunikasi di UB ” kataku dengan yakin
“Yakin? Ya bagus deh, sesuai dengan minat dan bakat kamu.”
“Kuliah itu gimana sih?” tanyaku penasaran
“Kalo gak kuliah di luar kota itu gak ngrasain yang namanya perjuangan. Gak ada tantangannya.”
“hmmh. Ciyus? Miapa? hahaha” kataku meledek
“Kuliah itu gak kayak SMA loh. Harus mandiri, disiplin, dan tahu diri. Harus lebih rajin belajar dan baca. Ya pokoknya kalo ambil jurusan harus di sesuaikan dengan minat dan bakat. Jangan sampai salah jurusan.”
“Iya tau kok.”
“Udah deh, apapun itu jika kita lakukan dengan rasa senang dan ikhlas pasti enak ngejalaninnya. Yang penting sekarang berusaha biar bisa masuk fakultas yang kamu inginkan”.
“Ah pusing deh mikirin itu. Mumpung lagi buka laptop, lihat donk foto-foto pas jamannya kuliah.”
Aku tertawa geli ketika melihat foto-foto bulek di laptop itu. Rasanya ada perubahan sangat banyak dialami bulek. Seperti ada aura positif dan semangat pada dirinya sekarang. Berbanding terbalik dengan foto itu.
“Dulu ya Far, waktu lulus SMA. Aku tuh gak ada niat buat kuliah, ya soalnya gak ada biaya. Kan adek aku juga banyak, masih sekolah juga. Tapi gak tau kenapa akhirnya kuliah.”
“Emang kuliah dimana? Kok bisa?”
“di Jogja. Ya karena gak di awali dengan niat yang sungguh-sungguh, akhirnya menderita karena salah pilih jurusan. Tapi, prinsipku apapun yang aku jalani harus aku lakukan dengan maksimal.”
“Lah, bisa gak ngikuti pelajarannya?”
“Pas kuliah dulu aku merasa seperti orang yang paling bodoh. Padahal juga belajar lho, makanya kamu belajar yang serius. Jangan sampai merasakan apa yang aku rasakan dulu.” Katanya menasihatiku.
Sepertinya benar apa yang dikatakan bulek. Contohnya saja di sekolah, ketika aku tidak belajar atau mempersiapkan materi untuk besok, ada rasa percaya diri yang hilang. Meskipun sebenarnya apa yang guru sampaikan di kelas juga bisa kita dengar, tapi terasa aneh ketika mendapat ilmu baru tapi sebelumnya tidak membaca dasarnya. Terkadang dalam pendidikan, kita lebih sering mengejar nilai dan menghalalkan segala cara hingga melupakan akhlak yang baik. Padahal dulu waktu kecil, kita sering dan berulang kali di nasehati untuk selalu mengedepankan kejujuran.
“Kamu harus percaya bahwa ketika kita terbiasa untuk hidup jujur dan mandiri, tetap yang akan memetik keuntungan itu kita sendiri. Kalo udah bisa mandiri, kita akan terbiasa dengan kehidupan itu. Jadi gak akan terbebani.”
“Ya sebenarnya aku itu ya bisa mandiri loh. Tapi tertabrak alasan-alasan klasik akhirnya ya manja. Hahaha.”
“Lha iya, masa udah 17 tahun gak bosen kalau manja. Mulai sekarang belajar mandiri, biar kita terbiasa bersahabat dengan namanya kesulitan hidup.”
“Harus ya?”
“Iya lah. Harus, apalagi bentar lagi kuliah di luar kota. Siapa coba yang bisa nolongin kalo gak dirimu sendiri?”
“Iya ya. We can survive. Fighting. hahaha”
“Sebenarnya ya cita-citaku dosen, Far. Aku berdoa terus biar bisa kuliah S2, daftar dosen trus kuliah psikologi.”
“Oke sip tak doakan. Cita-citaku cuma pengen cerita. Jadi penulis maksudnya.”
“Oke sip, yang penting harus kuliah sesuai bakat dan minat. Pasti bisa. Soalnya gak akan terpaksa kalo menjalani. Tapi harus ada niat belajar biar bisa. Sekarang nikmati dulu masa SMA-mu. Masa paling indah itu.”
“ha ha ha…”
“Tapi gak punya pacar waktu SMA rugi lho, Far. Ha ha ha”
“hmmmh.”
Mendiskusikan sesuatu sederhana tentang sebuah langkah dan pilihan masa depan, menghabiskan waktu berjam-jam share tentang hal itu, memberi sebuah suntikan semangat dan atmosfer positif pada diriku. Meskipun aku tak selalu berada di ruangan ini, aku berharap akan selalu memberikan atmosfer positif bagi semua orang. Obrolan kami tadi seakan membuka mataku untuk bangun dan melihat keadaan sekitar, mengajarkan bahwa hidup bukan permainan. Sepertinya selama ini aku di butakan oleh keadaan. Rasanya aku kehilangan tawa lepas yang keluar dari hati, mungkin aku kehilangan saat-saat menghabiskan waktu dengan obrolan ringan bersama keluarga, sahabat, atau siapapun itu. Aku butuh masa lalu, aku ingin belajar dari masa lalu. Share tak akan pernah hilang dari dunia kita. Walau hanya menjadi seorang pendengar yang baik. Itu pilihan.
Musim ujian telah tiba. Mulai dari ujian akhir semester, ujian sekolah, ujian praktek, ujian nasional, dan puncaknya adalah ujian melawan para pejuang ilmu demi sebuah kursi mahasiswa. Ya semacam fase dimana harus berpikir, bertindak, berusaha dengan maksimal, dan fighting. Kalau sudah musim ujian seperti ini gak ada lagi deh yang namanya santai. Pikiran dan perbuatan akan terfokus pada satu hal “ujian”. Entah apa yang membuat kata itu terdengar begitu ngeri di kalangan pelajar. Banyak yang bilang, ujian menjadi salah satu momok dan beban terberat. Semacam pertarungan sengit antara sel sperma dan sel telur untuk menjadi pemenang kehidupan. Ujian itu juga yang akan mengantarkan kami ke gerbang masa depan untuk menjadi pemenang.
Waktu itu setelah pulang dari latihan senam untuk ujian praktek sekolah, aku dan beberapa temanku beranjak ke café di pusat kota yang juga milik salah seorang temanku. Karena suntuk di rumah, tugas sekolahpun kami kerjakan disini. Seperti yang sudah aku ceritakan sebelumnya, café ini sangat klasik dan cocok buat kami yang sedang dilanda demam ujian. Biasanya kami memilih duduk di sofa sudut café dan memesan es cappucino. Es cappucino di café ini memang terkenal enak dan lain daripada yang lain, sebut saja itu menu andalan kami ketika nongkrong disini. Seperti biasanya, terjadilah obrolan ringan disela tugas yang menumpuk.
“Eh, perpisahan sekolah jadi kapan? Dimana?” tanyaku penasaran.
“katanya sih di sekolah aja, tapi ada prom night!” ujar Eldo, kepala suku kelas kami.
“Yah males deh, gak asik kalau di sekolahan.”
“Kayaknya asik nih kalau satu kelas liburan ke Semeru. Sekalian refreshing”
“Iya, kita butuh refreshing. Offroad asik nih!” Radit, salah seorang temanku menyela penuh semangat
“Lah, kok gitu? Kan lagi ngomongin perpisahan?”
“Eh, aku pernah loh sama papaku naik ke Gunung Arjuno. Bagus juga kok.”. ujar Radit dengan PD-nya
“Bakalan asik kalau foto album sekolah di Ranukumbolo. Klasik”. Usul kepala suku
“Plis deh, Semeru jauh. Ujian semakin dekat. Foto kelas bela-belain ke Semeru, pasti rumpi ah. Paling juga banyak yang gak diijinin sama orang tuanya.”
“Semeru deket! Sama kok kayak mendaki di Gunung Klotok. Cuma lewati satu bukit gunung. Nah, kan bisa sewa travel buat kesana?”
“Halooooo… Butuh waktu berapa lama? Iya kalo kuat, kalo gak? Emangnya gampang apa kayak gitu. Belum lagi kalau nyasar? Gimana coba? Udah deh cari yang deket-deket aja” Kataku tak setuju.
Tak ada jawaban dari teman-temanku, mereka tahu tak akan ada habisnya berdebat denganku. Lalu kami mulai asik dengan internet. Dan ternyata dua temanku sedang browsing tentang Semeru. Memang setelah film 5cm. tayang di bioskop, kami sering membicarakan tentang gunung Semeru. Dan kebetulan, nenek Eldo tinggal di daerah yang berdekatan dengan Gunung Semuru. Jadilah kami sering mendengar cerita tentang Semeru. Dan artikel yang mereka baca di internet saat itu mengawali cerita mistik tentang Semeru dan hal-hal di sekitar kami. Aku yang memang penakut, sebenarnya tak mau mendengarkan cerita itu. Tapi karena duduk kami hanya berjarak 1 meter, sudah pasti cerita itu terdengar di telingaku dan sukses membuat bulu kudukku merinding.
“Eh udah donk, takut nih!” kataku memaksa
“Tuh ada yang liat di belakang kamu. Gak usah dipikir, gak usah takut. Kalo takut justru didatengi loh.” Kata Radit sambil membacakan artikel di internet dengan suara lebih keras.
“Rese!”
“ha ha ha.” Si kepala suku hanya tertawa melihatku ketakutan.
“Udah deh itu cuma halusinasimu aja. Kalo takut ya kayak gitu jadinya. Parno!”
Enough!” kataku.
Misteri yang ada di Indonesia memang tak akan ada habisnya jika di ceritakan. Indonesia yang masih kental akan hal-hal mistik memang menyimpan sejuta misteri dan pertanyaan. Meskipun kita belum tahu kebenaran akan hal itu. Cerita mistik dari mulut ke mulut seakan menanamkan sugesti pada masyarakat bahwa hal itu memang ada. Hanya kita yang bisa menyaring, berpikir positif, dan rasional tentang cerita-cerita itu. Sama halnya dengan ujian yang sedang kami alami di sekolah. Terlalu memikirkan hasil akhir dan menjadikannya beban justru akan menanamkan energi negatif pada diri kami sendiri. Sugesti semacam itu yang kemudian akan mematahkan semangat belajar kami. Ujian sama halnya dengan cerita mistik, menyimpan misteri yang harus dipecahkan. Dan yang bisa memecahkan misteri itu hanya kita, diri kita sendiri.
Mungkin kita terlalu suntuk dengan aktifitas yang dilakukan, hingga pada suatu titik, mengalami masa kejenuhan. Adakalanya kita butuh sesuatu untuk menyegarkan pikiran yang mulai jenuh. Kita hanya butuh istirahat sejenak dan refreshing. Selanjutnya kita bisa memecahkan misteri di setiap apa yang kita lakukan. Dan kami, Semeru mungkin akan menjadi tujuan liburan dengan segala pertimbangan.
"Tuhan, aku rindu...
Tuhan, aku tak pernah tahu kepada siapa lagi harus bercerita. Tentang semua keluh kesah, suka, duka, dan lika liku luka. Beberapa kali memakasakan diri bercerita pada orang-orang terdekatku, hasilnya sia-sia. Tak ada satupun jawaban yang keluar dari mulut mereka mampu menenangkanku. Entah apa yang terjadi pada diriku. Aku berantakan, rasanya seperti kehilangan diriku sendiri. Kehilangan dunia yang dulu aku banggakan. Kehilangan dunia yang dulu selalu kuhiasi dengan mimpi dan cita-cita.
Apa yang salah atas diriku? Aku mulai hilang akal. Tak tahu lagi apa yang kurasakaan saat ini. Rasanya mati rasa, tanpa rasa lain. Jalan mana lagi yang harus kupilih untuk kembali menjadi diriku sendiri? Butuh waktu berapa lama untuk me-recorvery kehidupan penuh mimpi itu? Haruskah aku mengalah dan menyerah karena keadaan?"
Tahu berapa kali kutuliskan kalimat itu dalam sebuah catatan kecil? Entahlah aku tak pernah ingin tahu dan menjawabnya. Butuh waktu yang lama untuk kembali menjadi diriku sendiri. Seperti daun yang menanti tetesan embun. Seperti pohon yang menunggu cahaya matahari untuk tumbuh. Perasaan kecewa, menyesal, dan terluka mungkin masih menyelinap di antara relung hati dan mimpi. Ingin rasanya membakar dan benar-benar hilang dari perasaan itu. Kembali menjadi diriku sendiri, menjadi apa yang aku mimpikan dulu.
Ya, aku akan bangun, bangkit, berdiri, bahkan berlari. Aku akan menjadi diriku sendiri, aku akan melakukan setiap apa yang kujalani dengan penuh harapan. Berselimut doa yang kupanjatkan, semoga Allah senantiasa membukakan jalan yang terbaik. Ini saat yang tepat untuk bangkit. Mati Rasa? End.
Seneng deh kalau lagi ngebayangin tentang masa kecil dulu. Sekedar mengingat-ingat dan membandingkan antara masa kecil dulu dan masa sekarang. Hmmh, oke coba lihat yah satu persatu yang mungkin hilang dari peradaban. Haha. Lebay banget. Kebersamaan, kesederhanaan, kejujuran, dan ketekunan. Dulu nih, waktu masih kecil biasanya asik banget kalau lagi maen bareng temen-temen. Walaupun masih suka berantem. Kadang kalau lagi kejar-kejaran rebutan mainan sama temen pas kecil dulu suka nangis kalau lagi jatuh, nah udah kayak gitu pasti terpancar wajah tegang para ibu yang sedang mengawasi kita sambil bilang, ‘Dek, hati-hati dong kalau maen. Jangan rebutan maenan gitu. Pinjem yang baik, maennya gantian!’. Haha. Terharu deh kalau inget kayak gitu, masih kental banget kan kebersamaannya. Waktu kecil dulu juga sering tuh duduk di teras rumah, mainan boneka, ngarang-ngarang cerita aneh dan gak jelas. Mulai boneka yang jadi penjual rujak sampai demam teletubbies yang seolah mewajibkan anak untuk menceritakan setiap episodenya pada ibu. Hanya tawa kecil dan menjadi pendengar yang baik ketika menceritakan sesuatu sudah cukup membuat aku bahagia. Waktu itu. Waktu berjalan cepat dan masa lalu telah terlewat. Tapi, hidup adalah pilihan. Apapun yang kita pilih di masa depan, dan mau kita kenang atau buang masa lalu. Itu pilihan.
Cerita ini aku tulis setelah pulang dari rumah salah seorang saudara dari Jogja. Aku biasa memanggilnya ‘bulek’, aku tak tahu artinya sih tapi ya setidaknya itu mewakili kedekatan kami. Aku sering menghabiskan waktu berjam-jam di kamar kostnya yang cukup luas itu hanya untuk share dan melepas penat. Biasanya sore setelah pulang sekolah hingga malam hari. Entah kenapa aku merasa nyaman disana, seperti ada atmosfer positif yang mendorongku untuk selalu melakukan apapun dengan maksimal. Sore itu, seperti biasanya aku menonton tv sambil mengerjakan tugas sekolah.
“Far, kok tumben belajar. Ha ha ha.” Kata bulek yang baru selesai mencuci piring.
“Wah ngledek nih! Ya biar pinter lah. Aku kan emang rajin dari dulu.”
“ha ha ha. Sok serius ah, belajar kok sambil sms an.”
“JANGAN GANGGU!” kataku dengan keras.
“ha ha ha”
Meski sesekali terpaku pada tayangan televisi, akhirnya tugas sekolah itu selesai juga. Ya, butuh waktu dua jam menyelesaikan 50 soal matematika dan sosiologi. Akupun membereskan buku-buku dan memasukkannya ke dalam tas. Kulihat jam dinding di atas tembok yang ternyata sudah menunjukkan pukul 16.30 dan aku bergegas mengambil air wudhu kemudian sholat. Hmh, tiba saatnya melepas lelah dengan berbaring di atas kasur dan menyalakan mp3 dari handphone.
“Ojo serius-serius to lak ngerjakne. Mumet ngko!” Kataku menjaili bulek yang sedang menginput data ke laptop.
“Halah, wes arepe rampung iki, Far.”
“Ah, sebentar lagi kuliah ya. Gak terasa udah 3 tahun di SMA.”
“Iya ya. Hmmh, jadi ambil jurusan apa? Dimana?”
“Mau ambil komunikasi di UB ” kataku dengan yakin
“Yakin? Ya bagus deh, sesuai dengan minat dan bakat kamu.”
“Kuliah itu gimana sih?” tanyaku penasaran
“Kalo gak kuliah di luar kota itu gak ngrasain yang namanya perjuangan. Gak ada tantangannya.”
“hmmh. Ciyus? Miapa? hahaha” kataku meledek
“Kuliah itu gak kayak SMA loh. Harus mandiri, disiplin, dan tahu diri. Harus lebih rajin belajar dan baca. Ya pokoknya kalo ambil jurusan harus di sesuaikan dengan minat dan bakat. Jangan sampai salah jurusan.”
“Iya tau kok.”
“Udah deh, apapun itu jika kita lakukan dengan rasa senang dan ikhlas pasti enak ngejalaninnya. Yang penting sekarang berusaha biar bisa masuk fakultas yang kamu inginkan”.
“Ah pusing deh mikirin itu. Mumpung lagi buka laptop, lihat donk foto-foto pas jamannya kuliah.”
Aku tertawa geli ketika melihat foto-foto bulek di laptop itu. Rasanya ada perubahan sangat banyak dialami bulek. Seperti ada aura positif dan semangat pada dirinya sekarang. Berbanding terbalik dengan foto itu.
“Dulu ya Far, waktu lulus SMA. Aku tuh gak ada niat buat kuliah, ya soalnya gak ada biaya. Kan adek aku juga banyak, masih sekolah juga. Tapi gak tau kenapa akhirnya kuliah.”
“Emang kuliah dimana? Kok bisa?”
“di Jogja. Ya karena gak di awali dengan niat yang sungguh-sungguh, akhirnya menderita karena salah pilih jurusan. Tapi, prinsipku apapun yang aku jalani harus aku lakukan dengan maksimal.”
“Lah, bisa gak ngikuti pelajarannya?”
“Pas kuliah dulu aku merasa seperti orang yang paling bodoh. Padahal juga belajar lho, makanya kamu belajar yang serius. Jangan sampai merasakan apa yang aku rasakan dulu.” Katanya menasihatiku.
Sepertinya benar apa yang dikatakan bulek. Contohnya saja di sekolah, ketika aku tidak belajar atau mempersiapkan materi untuk besok, ada rasa percaya diri yang hilang. Meskipun sebenarnya apa yang guru sampaikan di kelas juga bisa kita dengar, tapi terasa aneh ketika mendapat ilmu baru tapi sebelumnya tidak membaca dasarnya. Terkadang dalam pendidikan, kita lebih sering mengejar nilai dan menghalalkan segala cara hingga melupakan akhlak yang baik. Padahal dulu waktu kecil, kita sering dan berulang kali di nasehati untuk selalu mengedepankan kejujuran.
“Kamu harus percaya bahwa ketika kita terbiasa untuk hidup jujur dan mandiri, tetap yang akan memetik keuntungan itu kita sendiri. Kalo udah bisa mandiri, kita akan terbiasa dengan kehidupan itu. Jadi gak akan terbebani.”
“Ya sebenarnya aku itu ya bisa mandiri loh. Tapi tertabrak alasan-alasan klasik akhirnya ya manja. Hahaha.”
“Lha iya, masa udah 17 tahun gak bosen kalau manja. Mulai sekarang belajar mandiri, biar kita terbiasa bersahabat dengan namanya kesulitan hidup.”
“Harus ya?”
“Iya lah. Harus, apalagi bentar lagi kuliah di luar kota. Siapa coba yang bisa nolongin kalo gak dirimu sendiri?”
“Iya ya. We can survive. Fighting. hahaha”
“Sebenarnya ya cita-citaku dosen, Far. Aku berdoa terus biar bisa kuliah S2, daftar dosen trus kuliah psikologi.”
“Oke sip tak doakan. Cita-citaku cuma pengen cerita. Jadi penulis maksudnya.”
“Oke sip, yang penting harus kuliah sesuai bakat dan minat. Pasti bisa. Soalnya gak akan terpaksa kalo menjalani. Tapi harus ada niat belajar biar bisa. Sekarang nikmati dulu masa SMA-mu. Masa paling indah itu.”
“ha ha ha…”
“Tapi gak punya pacar waktu SMA rugi lho, Far. Ha ha ha”
“hmmmh.”
Mendiskusikan sesuatu sederhana tentang sebuah langkah dan pilihan masa depan, menghabiskan waktu berjam-jam share tentang hal itu, memberi sebuah suntikan semangat dan atmosfer positif pada diriku. Meskipun aku tak selalu berada di ruangan ini, aku berharap akan selalu memberikan atmosfer positif bagi semua orang. Obrolan kami tadi seakan membuka mataku untuk bangun dan melihat keadaan sekitar, mengajarkan bahwa hidup bukan permainan. Sepertinya selama ini aku di butakan oleh keadaan. Rasanya aku kehilangan tawa lepas yang keluar dari hati, mungkin aku kehilangan saat-saat menghabiskan waktu dengan obrolan ringan bersama keluarga, sahabat, atau siapapun itu. Aku butuh masa lalu, aku ingin belajar dari masa lalu. Share tak akan pernah hilang dari dunia kita. Walau hanya menjadi seorang pendengar yang baik. Itu pilihan.
Musim ujian telah tiba. Mulai dari ujian akhir semester, ujian sekolah, ujian praktek, ujian nasional, dan puncaknya adalah ujian melawan para pejuang ilmu demi sebuah kursi mahasiswa. Ya semacam fase dimana harus berpikir, bertindak, berusaha dengan maksimal, dan fighting. Kalau sudah musim ujian seperti ini gak ada lagi deh yang namanya santai. Pikiran dan perbuatan akan terfokus pada satu hal “ujian”. Entah apa yang membuat kata itu terdengar begitu ngeri di kalangan pelajar. Banyak yang bilang, ujian menjadi salah satu momok dan beban terberat. Semacam pertarungan sengit antara sel sperma dan sel telur untuk menjadi pemenang kehidupan. Ujian itu juga yang akan mengantarkan kami ke gerbang masa depan untuk menjadi pemenang.
Waktu itu setelah pulang dari latihan senam untuk ujian praktek sekolah, aku dan beberapa temanku beranjak ke café di pusat kota yang juga milik salah seorang temanku. Karena suntuk di rumah, tugas sekolahpun kami kerjakan disini. Seperti yang sudah aku ceritakan sebelumnya, café ini sangat klasik dan cocok buat kami yang sedang dilanda demam ujian. Biasanya kami memilih duduk di sofa sudut café dan memesan es cappucino. Es cappucino di café ini memang terkenal enak dan lain daripada yang lain, sebut saja itu menu andalan kami ketika nongkrong disini. Seperti biasanya, terjadilah obrolan ringan disela tugas yang menumpuk.
“Eh, perpisahan sekolah jadi kapan? Dimana?” tanyaku penasaran.
“katanya sih di sekolah aja, tapi ada prom night!” ujar Eldo, kepala suku kelas kami.
“Yah males deh, gak asik kalau di sekolahan.”
“Kayaknya asik nih kalau satu kelas liburan ke Semeru. Sekalian refreshing”
“Iya, kita butuh refreshing. Offroad asik nih!” Radit, salah seorang temanku menyela penuh semangat
“Lah, kok gitu? Kan lagi ngomongin perpisahan?”
“Eh, aku pernah loh sama papaku naik ke Gunung Arjuno. Bagus juga kok.”. ujar Radit dengan PD-nya
“Bakalan asik kalau foto album sekolah di Ranukumbolo. Klasik”. Usul kepala suku
“Plis deh, Semeru jauh. Ujian semakin dekat. Foto kelas bela-belain ke Semeru, pasti rumpi ah. Paling juga banyak yang gak diijinin sama orang tuanya.”
“Semeru deket! Sama kok kayak mendaki di Gunung Klotok. Cuma lewati satu bukit gunung. Nah, kan bisa sewa travel buat kesana?”
“Halooooo… Butuh waktu berapa lama? Iya kalo kuat, kalo gak? Emangnya gampang apa kayak gitu. Belum lagi kalau nyasar? Gimana coba? Udah deh cari yang deket-deket aja” Kataku tak setuju.
Tak ada jawaban dari teman-temanku, mereka tahu tak akan ada habisnya berdebat denganku. Lalu kami mulai asik dengan internet. Dan ternyata dua temanku sedang browsing tentang Semeru. Memang setelah film 5cm. tayang di bioskop, kami sering membicarakan tentang gunung Semeru. Dan kebetulan, nenek Eldo tinggal di daerah yang berdekatan dengan Gunung Semuru. Jadilah kami sering mendengar cerita tentang Semeru. Dan artikel yang mereka baca di internet saat itu mengawali cerita mistik tentang Semeru dan hal-hal di sekitar kami. Aku yang memang penakut, sebenarnya tak mau mendengarkan cerita itu. Tapi karena duduk kami hanya berjarak 1 meter, sudah pasti cerita itu terdengar di telingaku dan sukses membuat bulu kudukku merinding.
“Eh udah donk, takut nih!” kataku memaksa
“Tuh ada yang liat di belakang kamu. Gak usah dipikir, gak usah takut. Kalo takut justru didatengi loh.” Kata Radit sambil membacakan artikel di internet dengan suara lebih keras.
“Rese!”
“ha ha ha.” Si kepala suku hanya tertawa melihatku ketakutan.
“Udah deh itu cuma halusinasimu aja. Kalo takut ya kayak gitu jadinya. Parno!”
Enough!” kataku.
Misteri yang ada di Indonesia memang tak akan ada habisnya jika di ceritakan. Indonesia yang masih kental akan hal-hal mistik memang menyimpan sejuta misteri dan pertanyaan. Meskipun kita belum tahu kebenaran akan hal itu. Cerita mistik dari mulut ke mulut seakan menanamkan sugesti pada masyarakat bahwa hal itu memang ada. Hanya kita yang bisa menyaring, berpikir positif, dan rasional tentang cerita-cerita itu. Sama halnya dengan ujian yang sedang kami alami di sekolah. Terlalu memikirkan hasil akhir dan menjadikannya beban justru akan menanamkan energi negatif pada diri kami sendiri. Sugesti semacam itu yang kemudian akan mematahkan semangat belajar kami. Ujian sama halnya dengan cerita mistik, menyimpan misteri yang harus dipecahkan. Dan yang bisa memecahkan misteri itu hanya kita, diri kita sendiri.
Mungkin kita terlalu suntuk dengan aktifitas yang dilakukan, hingga pada suatu titik, mengalami masa kejenuhan. Adakalanya kita butuh sesuatu untuk menyegarkan pikiran yang mulai jenuh. Kita hanya butuh istirahat sejenak dan refreshing. Selanjutnya kita bisa memecahkan misteri di setiap apa yang kita lakukan. Dan kami, Semeru mungkin akan menjadi tujuan liburan dengan segala pertimbangan.
"Tuhan, aku rindu...
Tuhan, aku tak pernah tahu kepada siapa lagi harus bercerita. Tentang semua keluh kesah, suka, duka, dan lika liku luka. Beberapa kali memakasakan diri bercerita pada orang-orang terdekatku, hasilnya sia-sia. Tak ada satupun jawaban yang keluar dari mulut mereka mampu menenangkanku. Entah apa yang terjadi pada diriku. Aku berantakan, rasanya seperti kehilangan diriku sendiri. Kehilangan dunia yang dulu aku banggakan. Kehilangan dunia yang dulu selalu kuhiasi dengan mimpi dan cita-cita.
Apa yang salah atas diriku? Aku mulai hilang akal. Tak tahu lagi apa yang kurasakaan saat ini. Rasanya mati rasa, tanpa rasa lain. Jalan mana lagi yang harus kupilih untuk kembali menjadi diriku sendiri? Butuh waktu berapa lama untuk me-recorvery kehidupan penuh mimpi itu? Haruskah aku mengalah dan menyerah karena keadaan?"
Tahu berapa kali kutuliskan kalimat itu dalam sebuah catatan kecil? Entahlah aku tak pernah ingin tahu dan menjawabnya. Butuh waktu yang lama untuk kembali menjadi diriku sendiri. Seperti daun yang menanti tetesan embun. Seperti pohon yang menunggu cahaya matahari untuk tumbuh. Perasaan kecewa, menyesal, dan terluka mungkin masih menyelinap di antara relung hati dan mimpi. Ingin rasanya membakar dan benar-benar hilang dari perasaan itu. Kembali menjadi diriku sendiri, menjadi apa yang aku mimpikan dulu.
Ya, aku akan bangun, bangkit, berdiri, bahkan berlari. Aku akan menjadi diriku sendiri, aku akan melakukan setiap apa yang kujalani dengan penuh harapan. Berselimut doa yang kupanjatkan, semoga Allah senantiasa membukakan jalan yang terbaik. Ini saat yang tepat untuk bangkit. Mati Rasa? End.

