Share yang Hilang  

Posted by: Farah Adiba Nailul Muna in

Seneng deh kalau lagi ngebayangin tentang masa kecil dulu. Sekedar mengingat-ingat dan membandingkan antara masa kecil dulu dan masa sekarang. Hmmh, oke coba lihat yah satu persatu yang mungkin hilang dari peradaban. Haha. Lebay banget. Kebersamaan, kesederhanaan, kejujuran, dan ketekunan. Dulu nih, waktu masih kecil biasanya asik banget kalau lagi maen bareng temen-temen. Walaupun masih suka berantem. Kadang kalau lagi kejar-kejaran rebutan mainan sama temen pas kecil dulu suka nangis kalau lagi jatuh, nah udah kayak gitu pasti terpancar wajah tegang para ibu yang sedang mengawasi kita sambil bilang, ‘Dek, hati-hati dong kalau maen. Jangan rebutan maenan gitu. Pinjem yang baik, maennya gantian!’. Haha. Terharu deh kalau inget kayak gitu, masih kental banget kan kebersamaannya. Waktu kecil dulu juga sering tuh duduk di teras rumah, mainan boneka, ngarang-ngarang cerita aneh dan gak jelas. Mulai boneka yang jadi penjual rujak sampai demam teletubbies yang seolah mewajibkan anak untuk menceritakan setiap episodenya pada ibu. Hanya tawa kecil dan menjadi pendengar yang baik ketika menceritakan sesuatu sudah cukup membuat aku bahagia. Waktu itu. Waktu berjalan cepat dan masa lalu telah terlewat. Tapi, hidup adalah pilihan. Apapun yang kita pilih di masa depan, dan mau kita kenang atau buang masa lalu. Itu pilihan.

Cerita ini aku tulis setelah pulang dari rumah salah seorang saudara dari Jogja. Aku biasa memanggilnya ‘bulek’, aku tak tahu artinya sih tapi ya setidaknya itu mewakili kedekatan kami. Aku sering menghabiskan waktu berjam-jam di kamar kostnya yang cukup luas itu hanya untuk share dan melepas penat. Biasanya sore setelah pulang sekolah hingga malam hari. Entah kenapa aku merasa nyaman disana, seperti ada atmosfer positif yang mendorongku untuk selalu melakukan apapun dengan maksimal. Sore itu, seperti biasanya aku menonton tv sambil mengerjakan tugas sekolah.

“Far, kok tumben belajar. Ha ha ha.” Kata bulek yang baru selesai mencuci piring.
“Wah ngledek nih! Ya biar pinter lah. Aku kan emang rajin dari dulu.”
“ha ha ha. Sok serius ah, belajar kok sambil sms an.”
“JANGAN GANGGU!” kataku dengan keras.
“ha ha ha”

Meski sesekali terpaku pada tayangan televisi, akhirnya tugas sekolah itu selesai juga. Ya, butuh waktu dua jam menyelesaikan 50 soal matematika dan sosiologi. Akupun membereskan buku-buku dan memasukkannya ke dalam tas. Kulihat jam dinding di atas tembok yang ternyata sudah menunjukkan pukul 16.30 dan aku bergegas mengambil air wudhu kemudian sholat. Hmh, tiba saatnya melepas lelah dengan berbaring di atas kasur dan menyalakan mp3 dari handphone.

“Ojo serius-serius to lak ngerjakne. Mumet ngko!” Kataku menjaili bulek yang sedang menginput data ke laptop.
“Halah, wes arepe rampung iki, Far.”
“Ah, sebentar lagi kuliah ya. Gak terasa udah 3 tahun di SMA.”
“Iya ya. Hmmh, jadi ambil jurusan apa? Dimana?”
“Mau ambil komunikasi di UB ” kataku dengan yakin
“Yakin? Ya bagus deh, sesuai dengan minat dan bakat kamu.”
“Kuliah itu gimana sih?” tanyaku penasaran
“Kalo gak kuliah di luar kota itu gak ngrasain yang namanya perjuangan. Gak ada tantangannya.”
“hmmh. Ciyus? Miapa? hahaha” kataku meledek
“Kuliah itu gak kayak SMA loh. Harus mandiri, disiplin, dan tahu diri. Harus lebih rajin belajar dan baca. Ya pokoknya kalo ambil jurusan harus di sesuaikan dengan minat dan bakat. Jangan sampai salah jurusan.”
“Iya tau kok.”
“Udah deh, apapun itu jika kita lakukan dengan rasa senang dan ikhlas pasti enak ngejalaninnya. Yang penting sekarang berusaha biar bisa masuk fakultas yang kamu inginkan”.
“Ah pusing deh mikirin itu. Mumpung lagi buka laptop, lihat donk foto-foto pas jamannya kuliah.”

Aku tertawa geli ketika melihat foto-foto bulek di laptop itu. Rasanya ada perubahan sangat banyak dialami bulek. Seperti ada aura positif dan semangat pada dirinya sekarang. Berbanding terbalik dengan foto itu.

“Dulu ya Far, waktu lulus SMA. Aku tuh gak ada niat buat kuliah, ya soalnya gak ada biaya. Kan adek aku juga banyak, masih sekolah juga. Tapi gak tau kenapa akhirnya kuliah.”
“Emang kuliah dimana? Kok bisa?”
“di Jogja. Ya karena gak di awali dengan niat yang sungguh-sungguh, akhirnya menderita karena salah pilih jurusan. Tapi, prinsipku apapun yang aku jalani harus aku lakukan dengan maksimal.”
“Lah, bisa gak ngikuti pelajarannya?”
“Pas kuliah dulu aku merasa seperti orang yang paling bodoh. Padahal juga belajar lho, makanya kamu belajar yang serius. Jangan sampai merasakan apa yang aku rasakan dulu.” Katanya menasihatiku.

Sepertinya benar apa yang dikatakan bulek. Contohnya saja di sekolah, ketika aku tidak belajar atau mempersiapkan materi untuk besok, ada rasa percaya diri yang hilang. Meskipun sebenarnya apa yang guru sampaikan di kelas juga bisa kita dengar, tapi terasa aneh ketika mendapat ilmu baru tapi sebelumnya tidak membaca dasarnya. Terkadang dalam pendidikan, kita lebih sering mengejar nilai dan menghalalkan segala cara hingga melupakan akhlak yang baik. Padahal dulu waktu kecil, kita sering dan berulang kali di nasehati untuk selalu mengedepankan kejujuran.

“Kamu harus percaya bahwa ketika kita terbiasa untuk hidup jujur dan mandiri, tetap yang akan memetik keuntungan itu kita sendiri. Kalo udah bisa mandiri, kita akan terbiasa dengan kehidupan itu. Jadi gak akan terbebani.”
“Ya sebenarnya aku itu ya bisa mandiri loh. Tapi tertabrak alasan-alasan klasik akhirnya ya manja. Hahaha.”
“Lha iya, masa udah 17 tahun gak bosen kalau manja. Mulai sekarang belajar mandiri, biar kita terbiasa bersahabat dengan namanya kesulitan hidup.”
“Harus ya?”
“Iya lah. Harus, apalagi bentar lagi kuliah di luar kota. Siapa coba yang bisa nolongin kalo gak dirimu sendiri?”
“Iya ya. We can survive. Fighting. hahaha”
“Sebenarnya ya cita-citaku dosen, Far. Aku berdoa terus biar bisa kuliah S2, daftar dosen trus kuliah psikologi.”
“Oke sip tak doakan. Cita-citaku cuma pengen cerita. Jadi penulis maksudnya.”
“Oke sip, yang penting harus kuliah sesuai bakat dan minat. Pasti bisa. Soalnya gak akan terpaksa kalo menjalani. Tapi harus ada niat belajar biar bisa. Sekarang nikmati dulu masa SMA-mu. Masa paling indah itu.”
“ha ha ha…”
“Tapi gak punya pacar waktu SMA rugi lho, Far. Ha ha ha”
“hmmmh.”

Mendiskusikan sesuatu sederhana tentang sebuah langkah dan pilihan masa depan, menghabiskan waktu berjam-jam share tentang hal itu, memberi sebuah suntikan semangat dan atmosfer positif pada diriku. Meskipun aku tak selalu berada di ruangan ini, aku berharap akan selalu memberikan atmosfer positif bagi semua orang. Obrolan kami tadi seakan membuka mataku untuk bangun dan melihat keadaan sekitar, mengajarkan bahwa hidup bukan permainan. Sepertinya selama ini aku di butakan oleh keadaan. Rasanya aku kehilangan tawa lepas yang keluar dari hati, mungkin aku kehilangan saat-saat menghabiskan waktu dengan obrolan ringan bersama keluarga, sahabat, atau siapapun itu. Aku butuh masa lalu, aku ingin belajar dari masa lalu. Share tak akan pernah hilang dari dunia kita. Walau hanya menjadi seorang pendengar yang baik. Itu pilihan.


Misteri Apa?  

Posted by: Farah Adiba Nailul Muna in

Musim ujian telah tiba. Mulai dari ujian akhir semester, ujian sekolah, ujian praktek, ujian nasional, dan puncaknya adalah ujian melawan para pejuang ilmu demi sebuah kursi mahasiswa. Ya semacam fase dimana harus berpikir, bertindak, berusaha dengan maksimal, dan fighting. Kalau sudah musim ujian seperti ini gak ada lagi deh yang namanya santai. Pikiran dan perbuatan akan terfokus pada satu hal “ujian”. Entah apa yang membuat kata itu terdengar begitu ngeri di kalangan pelajar. Banyak yang bilang, ujian menjadi salah satu momok dan beban terberat. Semacam pertarungan sengit antara sel sperma dan sel telur untuk menjadi pemenang kehidupan. Ujian itu juga yang akan mengantarkan kami ke gerbang masa depan untuk menjadi pemenang.

Waktu itu setelah pulang dari latihan senam untuk ujian praktek sekolah, aku dan beberapa temanku beranjak ke café di pusat kota yang juga milik salah seorang temanku. Karena suntuk di rumah, tugas sekolahpun kami kerjakan disini. Seperti yang sudah aku ceritakan sebelumnya, café ini sangat klasik dan cocok buat kami yang sedang dilanda demam ujian. Biasanya kami memilih duduk di sofa sudut café dan memesan es cappucino. Es cappucino di café ini memang terkenal enak dan lain daripada yang lain, sebut saja itu menu andalan kami ketika nongkrong disini. Seperti biasanya, terjadilah obrolan ringan disela tugas yang menumpuk.

“Eh, perpisahan sekolah jadi kapan? Dimana?” tanyaku penasaran.
“katanya sih di sekolah aja, tapi ada prom night!” ujar Eldo, kepala suku kelas kami.
“Yah males deh, gak asik kalau di sekolahan.”
“Kayaknya asik nih kalau satu kelas liburan ke Semeru. Sekalian refreshing”
“Iya, kita butuh refreshing. Offroad asik nih!” Radit, salah seorang temanku menyela penuh semangat
“Lah, kok gitu? Kan lagi ngomongin perpisahan?”
“Eh, aku pernah loh sama papaku naik ke Gunung Arjuno. Bagus juga kok.”. ujar Radit dengan PD-nya
“Bakalan asik kalau foto album sekolah di Ranukumbolo. Klasik”. Usul kepala suku
“Plis deh, Semeru jauh. Ujian semakin dekat. Foto kelas bela-belain ke Semeru, pasti rumpi ah. Paling juga banyak yang gak diijinin sama orang tuanya.”
“Semeru deket! Sama kok kayak mendaki di Gunung Klotok. Cuma lewati satu bukit gunung. Nah, kan bisa sewa travel buat kesana?”
“Halooooo… Butuh waktu berapa lama? Iya kalo kuat, kalo gak? Emangnya gampang apa kayak gitu. Belum lagi kalau nyasar? Gimana coba? Udah deh cari yang deket-deket aja” Kataku tak setuju.

Tak ada jawaban dari teman-temanku, mereka tahu tak akan ada habisnya berdebat denganku. Lalu kami mulai asik dengan internet. Dan ternyata dua temanku sedang browsing tentang Semeru. Memang setelah film 5cm. tayang di bioskop, kami sering membicarakan tentang gunung Semeru. Dan kebetulan, nenek Eldo tinggal di daerah yang berdekatan dengan Gunung Semuru. Jadilah kami sering mendengar cerita tentang Semeru. Dan artikel yang mereka baca di internet saat itu mengawali cerita mistik tentang Semeru dan hal-hal di sekitar kami. Aku yang memang penakut, sebenarnya tak mau mendengarkan cerita itu. Tapi karena duduk kami hanya berjarak 1 meter, sudah pasti cerita itu terdengar di telingaku dan sukses membuat bulu kudukku merinding.

“Eh udah donk, takut nih!” kataku memaksa
“Tuh ada yang liat di belakang kamu. Gak usah dipikir, gak usah takut. Kalo takut justru didatengi loh.” Kata Radit sambil membacakan artikel di internet dengan suara lebih keras.
“Rese!”
“ha ha ha.” Si kepala suku hanya tertawa melihatku ketakutan.
“Udah deh itu cuma halusinasimu aja. Kalo takut ya kayak gitu jadinya. Parno!”
Enough!” kataku.

Misteri yang ada di Indonesia memang tak akan ada habisnya jika di ceritakan. Indonesia yang masih kental akan hal-hal mistik memang menyimpan sejuta misteri dan pertanyaan. Meskipun kita belum tahu kebenaran akan hal itu. Cerita mistik dari mulut ke mulut seakan menanamkan sugesti pada masyarakat bahwa hal itu memang ada. Hanya kita yang bisa menyaring, berpikir positif, dan rasional tentang cerita-cerita itu. Sama halnya dengan ujian yang sedang kami alami di sekolah. Terlalu memikirkan hasil akhir dan menjadikannya beban justru akan menanamkan energi negatif pada diri kami sendiri. Sugesti semacam itu yang kemudian akan mematahkan semangat belajar kami. Ujian sama halnya dengan cerita mistik, menyimpan misteri yang harus dipecahkan. Dan yang bisa memecahkan misteri itu hanya kita, diri kita sendiri.

Mungkin kita terlalu suntuk dengan aktifitas yang dilakukan, hingga pada suatu titik, mengalami masa kejenuhan. Adakalanya kita butuh sesuatu untuk menyegarkan pikiran yang mulai jenuh. Kita hanya butuh istirahat sejenak dan refreshing. Selanjutnya kita bisa memecahkan misteri di setiap apa yang kita lakukan. Dan kami, Semeru mungkin akan menjadi tujuan liburan dengan segala pertimbangan.

Mati Rasa  

Posted by: Farah Adiba Nailul Muna in

"Tuhan, aku rindu...
Tuhan, aku tak pernah tahu kepada siapa lagi harus bercerita. Tentang semua keluh kesah, suka, duka, dan lika liku luka. Beberapa kali memakasakan diri bercerita pada orang-orang terdekatku, hasilnya sia-sia. Tak ada satupun jawaban yang keluar dari mulut mereka mampu menenangkanku. Entah apa yang terjadi pada diriku. Aku berantakan, rasanya seperti kehilangan diriku sendiri. Kehilangan dunia yang dulu aku banggakan. Kehilangan dunia yang dulu selalu kuhiasi dengan mimpi dan cita-cita.

Apa yang salah atas diriku? Aku mulai hilang akal. Tak tahu lagi apa yang kurasakaan saat ini. Rasanya mati rasa, tanpa rasa lain. Jalan mana lagi yang harus kupilih untuk kembali menjadi diriku sendiri? Butuh waktu berapa lama untuk me-recorvery kehidupan penuh mimpi itu? Haruskah aku mengalah dan menyerah karena keadaan?"

Tahu berapa kali kutuliskan kalimat itu dalam sebuah catatan kecil? Entahlah aku tak pernah ingin tahu dan menjawabnya. Butuh waktu yang lama untuk kembali menjadi diriku sendiri. Seperti daun yang menanti tetesan embun. Seperti pohon yang menunggu cahaya matahari untuk tumbuh. Perasaan kecewa, menyesal, dan terluka mungkin masih menyelinap di antara relung hati dan mimpi. Ingin rasanya membakar dan benar-benar hilang dari perasaan itu. Kembali menjadi diriku sendiri, menjadi apa yang aku mimpikan dulu.

Ya, aku akan bangun, bangkit, berdiri, bahkan berlari. Aku akan menjadi diriku sendiri, aku akan melakukan setiap apa yang kujalani dengan penuh harapan. Berselimut doa yang kupanjatkan, semoga Allah senantiasa membukakan jalan yang terbaik. Ini saat yang tepat untuk bangkit. Mati Rasa? End.

Sebuah Oase  

Posted by: Farah Adiba Nailul Muna in

Suatu sore sepulang sekolah saya masih menyempatkan diri bercengkrama dengan teman-teman di depan kelas. Obrolan ringan dan tawa kecil sedikit merefresh otak setelah sejak tadi pagi terkuras memikirkan satu per satu materi pelajaran di sekolah. Suasana sekolah yang mulai sepi dan udara yang sejuk membawa kami terlena dalam obrolan itu. Sesaat saya terpaku oleh sekelompok anak di depan ruang perpustakaan. Terlihat mereka dengan asyiknya mendesain sebuah mading. Padahal waktu itu sudah jam pulang sekolah. Waktu yang sebetulnya mereka bisa menikmati kebebasan bermain dengan teman sebayanya, atau menikmati waktu sore untuk duduk bercengkrama dengan keluarga. Tetapi barangkali karena tugas, mereka lebih memanfaatkan waktu itu untuk mengerjakan tanggung jawab mereka. Sementara anak-anak lain sebayanya asyik menikmati kebebasan bermain di luar sana, sekelompok anak ini dengan semangat mewujudkan sebuah impian, yaitu memajang mading untuk pembaca.

Saya masih menjumpai ketekunan yang terpancar dari wajah sekelompok anak itu untuk menciptakan sebuah produk seni. Waktu itu saya beruntung, akhirnya saya melihat langsung sekelompok anak yang mengorbankan waktunya demi sebuah kegiatan positif bagi lingkungan sekitarnya. Sekejap ide-ide kreatif di benak saya muncul ketika melihat mereka beraktifitas. Serupa oase yang muncul di padang pasir, menyejukkan. Mengapa? Sebentar saja mengamati mereka, saya menemukan banyak hal positif. Mulai dari ketekunan, kerjasama, kreativitas, dan kesederhanaan terpancar dari setiap detil mading yang mereka buat. Sampai-sampai saya tak menjumpai rasa lelah dalam raut wajah mereka.

Diselingi canda dan keusilan khas remaja membuat saya tersadar bahwa sekalipun mereka berasal dari kelas dan tingkatan yang berbeda, tak nampak adanya pembeda di antara mereka. Karena mereka lebur menjadi satu demi sebuah kepentingan. Bahkan saya bisa menyimpulkan bahwa dibalik kebersamaan mereka, muncul puluhan bahkan ribuan energi kreatif yang unik dan menarik. Misalnya, untuk mempercantik sebuah mading mereka menggunakan beberapa bahan daur ulang yang jarang terpikirkan oleh kita. Perdebatan seringkali muncul disela kegiatan membuat mading, itulah menariknya sebuah karya seni. Banyak argumen dan ide menarik muncul. Bukankah itu membutuhkan tingkat kecerdasan yang tinggi untuk menghasilkan produk seni yang orisinil?

Mungkin sesuap roti pun tak akan cukup mengalihkan perhatian mereka dari mempercantik produk seni itu. Kalau sudah merasa dapat menikmati suatu aktifitas biasanya kita sering melupakan makan. Yang menjadi orientasi dan prioritas saat itu hanyalah pekerjaan segera tuntas dengan hasil yang memuaskan. Sayangnya, dalam hal ini tak hanya bakat yang dibutuhkan. Namun juga pengorbanan dan tanggung jawab yang tinggi untuk menghasilkan sebuah produk seni. Yah, itu yang disebut profesionalisme kerja.

Tak lelah saya memperhatikan setiap gerak sekelompok anak itu. Mengerjakannya dengan profesional diimbangi dengan passion yang mereka miliki, saya yakin akan mempercantik mading itu. Kerjasama, kekompakan, kesederhanaan, kreatifitas, dan semangat dalam melakukan suatu pekerjaan mungkin sudah jarang kita temui di negeri ini. Bahkan sekarang ini lebih sering kita jumpai beberapa persoalan dan pekerjaan yang tak tuntas karena kepentingan-kepentingan pribadi. Alangkah baiknya jika kita mengaca pada sekelompok anak itu bahwa kerjasama, kekompakan, kesederhanaan, kreatifitas, dan semangat akan memberikan sebuah hasil yang maksimal bagi diri sendiri dan lingkungan sekitar. Serupa oase di sebuah padang pasir.


Pahlawan Tanpa Tanda (Jasa)  

Posted by: Farah Adiba Nailul Muna in

"Pendidikan diharap mampu merubah peradaban suatu bangsa.
Namun, pada kenyataannya, bnyak insan pendidikan yg kita sebut "pahlawan tanpa tanda jasa" justru mengatasnamakan jasanya di atas segalanya.
Rasanya seperti anak kecil yg dibodohi.
Atas nama pendidikan, teori dan nasehat hanya sebuah dongeng menutupi topeng yg mulai memudar.
Mana kesantunan nurani yg pernah kalian ajarkan? Atau kehidupan sudah menyilaukan mata hati?
#kehilangan rasa hormat. go freedom!"

Sebuah Oase  

Posted by: Farah Adiba Nailul Muna in

bahkan hal ini mampu memunculkan energi kreatif yang menarik.
bahkan untuk mempercantik mading ini membutuhkan materi alam untuk sebuah produk seni.
memerlukan tingkat kecerdasan yang tinggi bukan? bahkan sesuap roti pun tak cukup mengalihkan perhatian kami dari mempercantik 'produk seni' ini.
kalau sudah merasa dapat "menikmati" pekerjaan misalnya sering lupa makan.
yang menjadi orientasi ketika itu hanyalah pekerjaan segera tuntas.
Yah, kreativitas, kerjasama, tanggung jawab, kecerdasan, dan kesederhanaan yang terpancar semoga membawa hasil yang memuaskan.
#Sebuah Oase

Yang Menjadi Segalanya Bagiku  

Posted by: Farah Adiba Nailul Muna in

Bertahun-tahun sudah menikmati setiap waktu yang ada, entah untuk apapun itu. Pernah gak sih kita bertanya pada diri sendiri "Apa sih yang udah aku lakuin selama ini? Apa sih yang paling berarti selama ini?". Well, lagi-lagi muncul pertanyaan klasik yang terdramatisasi ketika mengucapkannya. haha. Seringkali aku menghabiskan waktu senja untuk duduk bersantai di salah satu monumen di kotaku. Uniknya monumen ini di desain mirip banget sama monumen Arc de Triomphe dari Paris. Bedanya monumen Simpang Lima Gumul(SLG) berada di tengah-tengah persimpangan Lima di Gumul, Kediri. Walaupun desain dan arsitekturnya mirip dengan Arc de Triomphe, tapi ternyata ornamennya menonjolkan seni budaya asli Kediri. Di sekeliling monumen banyak banget ditumbuhi rumput yang biasa untuk santai dan ngumpul bareng temen. Klasik ya menikmati suasana senja di Arc de Triomphe ala Kediri.

Aku tak sendiri menikmati senja di monumen ini, biasanya sebotol minuman kaleng, beberapa bungkus snack, notes, kamera, dan salah seorang sahabat menjadi pelengkap rutinitas senjaku. Waktu itu di suatu senja kami duduk berdua di bawah langit yang teduh, udara yang sejuk, dan hamparan rumput yang bergoyang tertiup angin. Ketika itu mata kami tertuju pada gadis kecil yang berlari sambil tersenyum menghampiri kami.

"Halo adek manis... namanya siapa?" sapa sahabat saya

Gadis itu hanya tersenyum dan duduk di depan kami dengan manisnya. Memainkan rumput dengan jari jemarinya yang mungil sambil sesekali melirik ke arah kami. Tak lama, ibunya memanggil dengan suara yang cukup keras karena gadis itu berlarian cukup jauh dari orang tuanya.

"Adek sini, jangan ganggu kakaknya lagi ngobrol...". Tampaknya ia kaget dengan teriakan ibunya, gadis itu berlari ke arah ibunya dan bermain disana.

"Prim, sadar gak sih anak kecil tadi habis ngapain? aneh banget!" ucapku datar
"Ya biasa, namanya juga anak kecil pasti ya kayak gitu deh tingkahnya. Lucu kan?"
"Iya sih, tapi aneh. Perhatiin deh, daritadi maen dan lari-lari terus gak ada capeknya apa. Gak bisa diem banget kan?"
"Dia kan masih kecil, masih polos. Jarang-jarang kan di genit in sama anak kecil kayak gitu." Kata Prima sambil tertawa kecil
"Whatever lah"
"Biarin aja lah, biar dia menikmati masa kecilnya yang indah. Biasanya kita juga kangen masa kecil kita kan?"

Aku diam, kami berdua sama-sama diam. Orang-orang bercengkrama di sekeliling monumen, ada yang dengan keluarga, sahabat, pacar, dan banyak yang lainnya. Deru suara motor di jalanan menjadi tontonan yang biasa karena posisi monumen ini tepat di tengah jalan persimpangan lima. Hanya diam dan sesekali menghembuskan nafas panjang seolah menenangkan diri.

"Apa sih yang kita cari disini?" Kataku mengagetkan Prima
"Pengen santai. Bosen kan tiap hari dengan rutinitas yang itu-itu aja."
"Kapan ya bisa kayak anak kecil tadi. Lari-lari, tanpa beban, bebas nglakuin apa aja yang dia suka. Yang ada dipikirannya cuma maen dan maen. gak ada yang lain!"
"Kan selama ini kita udah melewati semua itu. Gak mungkin kan kita kembali ke masa lalu."
"Ya enggak sih, rasanya sekarang gak bisa enjoy aja. Yang salah siapa donk kalau gitu? Kita? atau keadaan?"
"Gak ada yang salah sih. Mungkin kita sering lupa sama Tuhan, membiarkan diri kita terlena dengan apa yang namanya tanggung jawab. Sekarang kita udah jadi diri kita sendiri. Bedanya sama anak kecil tadi, dia masih mencari siapa dirinya."
"Iya ya, sudah saatnya kita mendewasa tanpa mengeluhkan apa yang terjadi. Mungkin keluhan-keluhan yang menumpuk itu membuat aku lupa siapa di balik semua ini. Tuhan."
"Life must go on kan?"
"Yah, Tuhan yang membuat kita kuat."

Dia hanya membalasnya dengan senyuman.

Ada satu hal yang perlu aku sadari dalam hidup ini. Yang mungkin selama ini hilang entah kemana. Yang jarang disadari oleh remaja seusiaku. Bahwa sebenarnya Allahlah segalanya. Yang memberi hidup dan kehidupan. Maha pembolak balik hati. Sang pemilik segalanya. Hanya Allahlah yang memiliki segalanya, penolongku, cahaya terang di saat nurani mulai goyah, petunjuk saat otak mulai kehilangan logika, Maha segalanya. Dialah tujuan dari segala tujuan. Allahlah yang berhak atas nafasku, atas jiwaku, atas ragaku, ilmuku, atas jalan hidupku. Jalan hidup yang aku pilih tanpa paksaan. Karena semua ini milikNya.

Galau vs Passion  

Posted by: Farah Adiba Nailul Muna in

Bisa dibilang ini adalah masa galau dan fase tersulit seorang anak SMA menuju masa depan (Haha puitis banget). Tentang sebuah pilihan mau kuliah, kerja, atau mungkin mau nikah. hehe. Yah, dihadapkan pada suatu kondisi dan pilihan tentang masa depan yang bisa dibilang sih menjadi penentu langkah selanjutnya. Ada seorang temen yang berkali-kali tanya "gimana sih enaknya mau kuliah dimana ya? mau ngambil jurusan apa? bingung nih." nah, yang kuliah dia malah nanya balik ke aku. haha. Well, itu wajar! Jangan kaget kalau lagi musim UNAS gini semua anak SMA pada tegang, bingung, dan ngabisin duit jajan buat ngenet (baca: search Perguruan Tinggi, SNMPTN). Bisa aku pastiin kegalauan hampir menjadi bagian dari para siswa SMA di seluruh Indonesia. Mulai dari pemilihan jurusan, sampai ke tahap yang paling galau dari semua kegalauan di zaman SMA:

Mau masuk ke mana, dan ambil jurusan apa pas kuliah nanti?

Melalui tulisan ini, saya akan mencoba untuk memberikan pendapat mengenai fenomena kegalauan ini dari sudut pandang seorang calon MABA (Mahasiswa Baru). Semoga dengan tulisan ini aku, kamu, dan siapapun yang lagi galau gak akan mengalami depresi karena salah jurusan. Well, its the time to share my opinion for you:

1. Paradigma dan Masa Depan
Coba deh kita perhatiin, banyak orang tua kita yang bilang "kamu pantesnya kuliah di Kedokteran. Tuh liat prospeknya bagus. Gajinya Gede." atau mungkin "gak pantes kamu ambil jurusan itu. mau jadi apa kamu nanti?" dan bla bla bla dengan segudang alasan. Mungkin orang tua kita pernah bicara seperti itu. Niatnya sih mau ngasih pilihan yang tepat buat kita nantinya. Selama ini pemilihan jurusan selalu dikaitkan dengan prospek masa depan. Entah itu karena gaji, kualitas kehidupan, dan kemudahan lapangan kerja. Parameter seperti itulah yang selalu dikaitkan dengan pemilihan jurusan. Nah, mulai bingung deh kalau masih terikat dengan paradigma yang kayak gitu. Gak bakalah ada yang benar di mata kita kalau kita selalu menjadikan hal tersebut sebagai parameter kualitas kehidupan kita. Percaya deh, sekalipun pilihan kamu di anggap rendah dan buruk, pasti ada jalan yang lebih baik nantinya.

2. Penyakit Khas Indonesia
Gengsi, sebuah kebodohan yang menurut saya mengakar dengan sangat kuat di kehidupan masyarakat Indonesia. Gengsi ini begitu mengakarnya, sehingga terkadang passing grade suatu jurusan pun sering menjadi dinding yang secara tak langsung memisahkan kehidupan sosial antar mahasiswa. Terkadang seseorang akan dianggap hebat, dan dipandang sebagai golongan elit apabila dia sanggup masuk ke jurusan yang standar passing grade-nya tinggi. Sehingga adalah hal yang bisa dimaklumi jika para remaja yang memang sedang berada di fase pencarian identitas, dan pengakuan, akan tergiur untuk masuk ke dalam golongan “elit” ini.

3. Passion Is the Real Dream
Banyak orang sudah cukup puas dengan gaji yang tinggi, rumah, mobil, dan semua yang mereka inginkan terwujud. Tapi ada juga yang berpikir "kok selama ini aku menghabiskan waktu dengan sesuatu yang membosankan ya. Cuma itu-itu aja.". Nah passion is the real dream, dimana kamu bisa menggunakan passion kamu untuk sebuah jalan untuk meraih mimpi kamu. Ada yang mau jadi penulis, penyanyi, desainer, dan apapun itu yang kamu inginkan. Semuanya sih sah-sah aja, selama itu bisa buat kamu nyaman dan gak ngerugiin orang lain. Oke sekarang kamu harus tahu dan kejar passion kamu demi masa depan.

Nah, apa sih passion itu?

"Sesuatu adalah passion kita, jika ketika kita mengerjakan hal tersebut, maka waktu akan berlalu dengan cepat. Badan dan pikiran kita pun akan rileks dan enjoy mengerjakannya, entah itu 5 menit, sejam, 5 jam, ataupun seharian, tidak akan ada bedanya. Pada kenyataannya, terkadang kita sama sekali tidak merasa perlu untuk beristirahat, bahkan ketika mengerjakan sesuatu yang pada umumnya orang anggap sebagai sesuatu yang teramat melelahkan."

Terdengar seperti kisah dongeng kah? Ya, memang saya akui ini terdengar berlebihan, tapi inilah kenyataannya. Ketika kita melakukan sesuatu yang kita senangi, maka semua waktu akan berjalan tanpa terasa. Pernahkah kita merasakan seakan-akan kita terbenam ke dalam suatu hal sampai lupa waktu? Seperti itulah kira-kira rasanya menjalankan passion kita. Dan passion inilah sebuah hal yang memungkinkan kita untuk membuat sebuah masterpiece di dalam hidup kita.

4. Time = Masa Depan
Gak ada lagi yang namanya santai. Betapa waktu sangat berharga untuk menentukan kualitas diri kita. Siapa yang menghargai waktu, dialah yang menghargai masa depannya. Kamu boleh mimpi setinggi langit, gak ada yang nglarang. Tapi inget, semua itu gak akan terwujud kalau kamu gak pernah menghargai setiap detik waktu yang ada untuk mempersiapkan masa depan kamu. Sama halnya dengan pemilihan jurusan, setiap saat kamu harus siap dan mempersiapkan segala sesuatu yang akan kamu butuhkan nanti pas Kuliah. Why? Prepare for future is the importent thing. Kesimpulannya, persiapkan diri kamu, mimpi kamu, dan apapun yang akan kamu pilih mulai dari sekarang. satu-satunya waktu yang bisa berubah hanya masa lalu. Masa depan belum terbentuk, hari ini yang membentuk kamu sukses di masa depan nanti. Waktu yang akan membuktikan dengan segala caranya.

5. The "X" Factor
Last but not Least. The X factor yang dimaksud bukan acara yang lagi hits di Tv itu tuh. X Factor adalah faktor yang paling menentukan apakah kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan. Faktor X ini biasa orang sebut 'LUCK' yap keberuntungan. Tapi menurut saya itu lebih dari apa yang namanya keberuntungan. Keberuntungan bisa aja datang sekali, dua kali. Tapi, Faktor X yang saya maksud adalah 'DOA'. Jadi keberuntungan akan datang dan berpihak pada siapapun yang berdoa. Mustahil jika kita menginginkan sesuatu yang besar tapi hanya dengan usaha yang kecil. Percaya, Tak ada hal luar biasa yang dicapai dengan cara Biasa. Dan cara luar biasa itu adalah Doa dan Usaha.

Finnaly, Kejarlah apa yang menjadi passion kamu. Lupakan saja gaji dan gengsi. Karena mengejar passion akan membuat kamu lebih mudah mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan kamu gak akan pernah menyesal ketika kamu menjalankan dan mengejar passion kamu. Karena itu jati dirimu. Gunakan waktu sebaik-baiknya demi masa depan kamu. Waktu kamu sudah tiba untuk membuka mata meraih mimpi. Percaya deh, setiap apa yang kita impikan dan inginkan pasti akan terwujud. Tuhan gak akan tidur kok untuk selalu mendengar doa hamba-hambanya. Mungkin kita butuh waktu yang panjang untuk mewujudkan apa yang kita inginkan, tapi suatu saat akan ada masa dimana kita akan tersenyum dan memandang kebelakang sambil bilang:

"Untung dulu saya mengejar apa yang menjadi Passion saya"

Ps: Jangan buat komitmen yang salah yang kemudian akan kamu sesali sepanjang usia.

UNTITLED FREEDOM!  

Posted by: Farah Adiba Nailul Muna in

Demi Hedonisme.
Demi Idealisme.
Demi Fanatisme.
Demi Kekuasaan.
Demi apapun yang di banggakan manusia di dunia.
Dan demi... demi...
Demikianlah...
sebuah ironi ketika kebebasan menjadi raja...
Demikianlah...
semua menyita waktu, menguras pikiran, mematahkan logika.
Euforia tanpa alasan.
Tanpa tujuan
dan tanpa apapun hingga kita tak menyadari bahwa ternyata hampa.
Tak pantas dibanggakan.
"kamu juga seseorang yang hebat"

Untitled – Simple Plan Lyrics & Listen  

Posted by: Farah Adiba Nailul Muna

Untitled – Simple Plan Lyrics & Listen

Masterpiece  

Posted by: Farah Adiba Nailul Muna in

akan ada sebuah waktu dimana kita akan berdiri penuh rasa bangga. The winner stands alone


Menjadi sangat tertantang ketika melihat banyak novel karya teman-temanku terpampang di toko-toko buku, atau merasa tergerak ketika banyak karya tulis dari teman-temanku juga berhasil menjadi jawara. Yah, semakin hari seperti mendapat sebuah tekanan batin kenapa aku tak beranjak pergi dari rasa suntuk dan segera take action. Menjadi sebuah hal penting bagiku ketika suatu saat aku bisa membanggakan Ayah, Bunda, dan mereka semua yang kukenal dengan sebuah ‘masterpiece’ yang bisa kupersembahkan.

Waktu demi waktu berlalu. 1 tahun pun terasa amat singkat yang dipenuhi dengan rutinitas ‘pemimpi’ untuk menjadi seorang penulis. Alunan musik mellow, secangkir kopi, udara sejuk, suasana café yang klasik, dan menjadi penikmat kesunyian adalah sebuah fragmen yang bisa dibilang ‘aku banget’. Ketika menikmati secangkir kopi di salah satu café klasik di Kotaku, Kediri. Muncul sebuah pertanyaan yang seringkali membayangiku sebelum tidur, pertanyaan lama yang kerapkali menghabiskan waktu lamunanku. “Udah menciptakan sejarah apa tahun ini? Gimana dengan mimpimu?”. Orang lain boleh bilang itu hanya pertanyaan bodoh dan tak penting. Tapi bagiku, itu menjadi sangat menantang untuk membuktikan seberapa besar mimpi dan cita-citaku.

Beberapa pertanyaan lain juga kerapkali dilontakan oleh teman seperti, “Gimana udah kirim novel kemana? Kapan mulai terbit?”. Pertanyaan-pertanyaan itu semakin menguras tenaga dan pikiranku setiap waktu. Hmh, tampaknya harus segera take action untuk menjawab semua pertanyaan itu. Tapi sepertinya bukan hanya take action yang dibutuhkan, juga diperlukan konsisten melangkah satu persatu melewati tujuan-tujuan kecil untuk meraih tujuan tertinggi. Tak mudah memang, tapi apa salahnya belajar ‘mendisiplinkan diri’ demi sebuah mimpi.

Sebagai seorang pelajar SMA yang beberapa bulan lagi akan menjadi mahasiswa, akan sangat penting dan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri ketika masa muda ini dipenuhi dengan ‘masterpiece’ (karya agung). Itu adalah mimpi, mimpi untuk menciptakan masa muda yang indah dan bisa diabadikan menjadi sebuah masterpiece. Tahun ini, tak ada harapan yang lebih indah selain mewujudkan setiap mimpi. Melakukan apa yang bisa aku lakukan dan menjadi yang terbaik. Seiring berakhirnya tulisan ini, semoga selalu terbuka jalan terbaik di setiap waktu dan kesempatan yang kita dapatkan dan semoga Tuhan senantiasa meridhoi setiap langkah yang kita pilih. Amiiin.


Share yang Hilang  

Posted by: Farah Adiba Nailul Muna in

Seneng deh kalau lagi ngebayangin tentang masa kecil dulu. Sekedar mengingat-ingat dan membandingkan antara masa kecil dulu dan masa sekarang. Hmmh, oke coba lihat yah satu persatu yang mungkin hilang dari peradaban. Haha. Lebay banget. Kebersamaan, kesederhanaan, kejujuran, dan ketekunan. Dulu nih, waktu masih kecil biasanya asik banget kalau lagi maen bareng temen-temen. Walaupun masih suka berantem. Kadang kalau lagi kejar-kejaran rebutan mainan sama temen pas kecil dulu suka nangis kalau lagi jatuh, nah udah kayak gitu pasti terpancar wajah tegang para ibu yang sedang mengawasi kita sambil bilang, ‘Dek, hati-hati dong kalau maen. Jangan rebutan maenan gitu. Pinjem yang baik, maennya gantian!’. Haha. Terharu deh kalau inget kayak gitu, masih kental banget kan kebersamaannya. Waktu kecil dulu juga sering tuh duduk di teras rumah, mainan boneka, ngarang-ngarang cerita aneh dan gak jelas. Mulai boneka yang jadi penjual rujak sampai demam teletubbies yang seolah mewajibkan anak untuk menceritakan setiap episodenya pada ibu. Hanya tawa kecil dan menjadi pendengar yang baik ketika menceritakan sesuatu sudah cukup membuat aku bahagia. Waktu itu. Waktu berjalan cepat dan masa lalu telah terlewat. Tapi, hidup adalah pilihan. Apapun yang kita pilih di masa depan, dan mau kita kenang atau buang masa lalu. Itu pilihan.

Cerita ini aku tulis setelah pulang dari rumah salah seorang saudara dari Jogja. Aku biasa memanggilnya ‘bulek’, aku tak tahu artinya sih tapi ya setidaknya itu mewakili kedekatan kami. Aku sering menghabiskan waktu berjam-jam di kamar kostnya yang cukup luas itu hanya untuk share dan melepas penat. Biasanya sore setelah pulang sekolah hingga malam hari. Entah kenapa aku merasa nyaman disana, seperti ada atmosfer positif yang mendorongku untuk selalu melakukan apapun dengan maksimal. Sore itu, seperti biasanya aku menonton tv sambil mengerjakan tugas sekolah.

“Far, kok tumben belajar. Ha ha ha.” Kata bulek yang baru selesai mencuci piring.
“Wah ngledek nih! Ya biar pinter lah. Aku kan emang rajin dari dulu.”
“ha ha ha. Sok serius ah, belajar kok sambil sms an.”
“JANGAN GANGGU!” kataku dengan keras.
“ha ha ha”

Meski sesekali terpaku pada tayangan televisi, akhirnya tugas sekolah itu selesai juga. Ya, butuh waktu dua jam menyelesaikan 50 soal matematika dan sosiologi. Akupun membereskan buku-buku dan memasukkannya ke dalam tas. Kulihat jam dinding di atas tembok yang ternyata sudah menunjukkan pukul 16.30 dan aku bergegas mengambil air wudhu kemudian sholat. Hmh, tiba saatnya melepas lelah dengan berbaring di atas kasur dan menyalakan mp3 dari handphone.

“Ojo serius-serius to lak ngerjakne. Mumet ngko!” Kataku menjaili bulek yang sedang menginput data ke laptop.
“Halah, wes arepe rampung iki, Far.”
“Ah, sebentar lagi kuliah ya. Gak terasa udah 3 tahun di SMA.”
“Iya ya. Hmmh, jadi ambil jurusan apa? Dimana?”
“Mau ambil komunikasi di UB ” kataku dengan yakin
“Yakin? Ya bagus deh, sesuai dengan minat dan bakat kamu.”
“Kuliah itu gimana sih?” tanyaku penasaran
“Kalo gak kuliah di luar kota itu gak ngrasain yang namanya perjuangan. Gak ada tantangannya.”
“hmmh. Ciyus? Miapa? hahaha” kataku meledek
“Kuliah itu gak kayak SMA loh. Harus mandiri, disiplin, dan tahu diri. Harus lebih rajin belajar dan baca. Ya pokoknya kalo ambil jurusan harus di sesuaikan dengan minat dan bakat. Jangan sampai salah jurusan.”
“Iya tau kok.”
“Udah deh, apapun itu jika kita lakukan dengan rasa senang dan ikhlas pasti enak ngejalaninnya. Yang penting sekarang berusaha biar bisa masuk fakultas yang kamu inginkan”.
“Ah pusing deh mikirin itu. Mumpung lagi buka laptop, lihat donk foto-foto pas jamannya kuliah.”

Aku tertawa geli ketika melihat foto-foto bulek di laptop itu. Rasanya ada perubahan sangat banyak dialami bulek. Seperti ada aura positif dan semangat pada dirinya sekarang. Berbanding terbalik dengan foto itu.

“Dulu ya Far, waktu lulus SMA. Aku tuh gak ada niat buat kuliah, ya soalnya gak ada biaya. Kan adek aku juga banyak, masih sekolah juga. Tapi gak tau kenapa akhirnya kuliah.”
“Emang kuliah dimana? Kok bisa?”
“di Jogja. Ya karena gak di awali dengan niat yang sungguh-sungguh, akhirnya menderita karena salah pilih jurusan. Tapi, prinsipku apapun yang aku jalani harus aku lakukan dengan maksimal.”
“Lah, bisa gak ngikuti pelajarannya?”
“Pas kuliah dulu aku merasa seperti orang yang paling bodoh. Padahal juga belajar lho, makanya kamu belajar yang serius. Jangan sampai merasakan apa yang aku rasakan dulu.” Katanya menasihatiku.

Sepertinya benar apa yang dikatakan bulek. Contohnya saja di sekolah, ketika aku tidak belajar atau mempersiapkan materi untuk besok, ada rasa percaya diri yang hilang. Meskipun sebenarnya apa yang guru sampaikan di kelas juga bisa kita dengar, tapi terasa aneh ketika mendapat ilmu baru tapi sebelumnya tidak membaca dasarnya. Terkadang dalam pendidikan, kita lebih sering mengejar nilai dan menghalalkan segala cara hingga melupakan akhlak yang baik. Padahal dulu waktu kecil, kita sering dan berulang kali di nasehati untuk selalu mengedepankan kejujuran.

“Kamu harus percaya bahwa ketika kita terbiasa untuk hidup jujur dan mandiri, tetap yang akan memetik keuntungan itu kita sendiri. Kalo udah bisa mandiri, kita akan terbiasa dengan kehidupan itu. Jadi gak akan terbebani.”
“Ya sebenarnya aku itu ya bisa mandiri loh. Tapi tertabrak alasan-alasan klasik akhirnya ya manja. Hahaha.”
“Lha iya, masa udah 17 tahun gak bosen kalau manja. Mulai sekarang belajar mandiri, biar kita terbiasa bersahabat dengan namanya kesulitan hidup.”
“Harus ya?”
“Iya lah. Harus, apalagi bentar lagi kuliah di luar kota. Siapa coba yang bisa nolongin kalo gak dirimu sendiri?”
“Iya ya. We can survive. Fighting. hahaha”
“Sebenarnya ya cita-citaku dosen, Far. Aku berdoa terus biar bisa kuliah S2, daftar dosen trus kuliah psikologi.”
“Oke sip tak doakan. Cita-citaku cuma pengen cerita. Jadi penulis maksudnya.”
“Oke sip, yang penting harus kuliah sesuai bakat dan minat. Pasti bisa. Soalnya gak akan terpaksa kalo menjalani. Tapi harus ada niat belajar biar bisa. Sekarang nikmati dulu masa SMA-mu. Masa paling indah itu.”
“ha ha ha…”
“Tapi gak punya pacar waktu SMA rugi lho, Far. Ha ha ha”
“hmmmh.”

Mendiskusikan sesuatu sederhana tentang sebuah langkah dan pilihan masa depan, menghabiskan waktu berjam-jam share tentang hal itu, memberi sebuah suntikan semangat dan atmosfer positif pada diriku. Meskipun aku tak selalu berada di ruangan ini, aku berharap akan selalu memberikan atmosfer positif bagi semua orang. Obrolan kami tadi seakan membuka mataku untuk bangun dan melihat keadaan sekitar, mengajarkan bahwa hidup bukan permainan. Sepertinya selama ini aku di butakan oleh keadaan. Rasanya aku kehilangan tawa lepas yang keluar dari hati, mungkin aku kehilangan saat-saat menghabiskan waktu dengan obrolan ringan bersama keluarga, sahabat, atau siapapun itu. Aku butuh masa lalu, aku ingin belajar dari masa lalu. Share tak akan pernah hilang dari dunia kita. Walau hanya menjadi seorang pendengar yang baik. Itu pilihan.


Misteri Apa?  

Posted by: Farah Adiba Nailul Muna in

Musim ujian telah tiba. Mulai dari ujian akhir semester, ujian sekolah, ujian praktek, ujian nasional, dan puncaknya adalah ujian melawan para pejuang ilmu demi sebuah kursi mahasiswa. Ya semacam fase dimana harus berpikir, bertindak, berusaha dengan maksimal, dan fighting. Kalau sudah musim ujian seperti ini gak ada lagi deh yang namanya santai. Pikiran dan perbuatan akan terfokus pada satu hal “ujian”. Entah apa yang membuat kata itu terdengar begitu ngeri di kalangan pelajar. Banyak yang bilang, ujian menjadi salah satu momok dan beban terberat. Semacam pertarungan sengit antara sel sperma dan sel telur untuk menjadi pemenang kehidupan. Ujian itu juga yang akan mengantarkan kami ke gerbang masa depan untuk menjadi pemenang.

Waktu itu setelah pulang dari latihan senam untuk ujian praktek sekolah, aku dan beberapa temanku beranjak ke café di pusat kota yang juga milik salah seorang temanku. Karena suntuk di rumah, tugas sekolahpun kami kerjakan disini. Seperti yang sudah aku ceritakan sebelumnya, café ini sangat klasik dan cocok buat kami yang sedang dilanda demam ujian. Biasanya kami memilih duduk di sofa sudut café dan memesan es cappucino. Es cappucino di café ini memang terkenal enak dan lain daripada yang lain, sebut saja itu menu andalan kami ketika nongkrong disini. Seperti biasanya, terjadilah obrolan ringan disela tugas yang menumpuk.

“Eh, perpisahan sekolah jadi kapan? Dimana?” tanyaku penasaran.
“katanya sih di sekolah aja, tapi ada prom night!” ujar Eldo, kepala suku kelas kami.
“Yah males deh, gak asik kalau di sekolahan.”
“Kayaknya asik nih kalau satu kelas liburan ke Semeru. Sekalian refreshing”
“Iya, kita butuh refreshing. Offroad asik nih!” Radit, salah seorang temanku menyela penuh semangat
“Lah, kok gitu? Kan lagi ngomongin perpisahan?”
“Eh, aku pernah loh sama papaku naik ke Gunung Arjuno. Bagus juga kok.”. ujar Radit dengan PD-nya
“Bakalan asik kalau foto album sekolah di Ranukumbolo. Klasik”. Usul kepala suku
“Plis deh, Semeru jauh. Ujian semakin dekat. Foto kelas bela-belain ke Semeru, pasti rumpi ah. Paling juga banyak yang gak diijinin sama orang tuanya.”
“Semeru deket! Sama kok kayak mendaki di Gunung Klotok. Cuma lewati satu bukit gunung. Nah, kan bisa sewa travel buat kesana?”
“Halooooo… Butuh waktu berapa lama? Iya kalo kuat, kalo gak? Emangnya gampang apa kayak gitu. Belum lagi kalau nyasar? Gimana coba? Udah deh cari yang deket-deket aja” Kataku tak setuju.

Tak ada jawaban dari teman-temanku, mereka tahu tak akan ada habisnya berdebat denganku. Lalu kami mulai asik dengan internet. Dan ternyata dua temanku sedang browsing tentang Semeru. Memang setelah film 5cm. tayang di bioskop, kami sering membicarakan tentang gunung Semeru. Dan kebetulan, nenek Eldo tinggal di daerah yang berdekatan dengan Gunung Semuru. Jadilah kami sering mendengar cerita tentang Semeru. Dan artikel yang mereka baca di internet saat itu mengawali cerita mistik tentang Semeru dan hal-hal di sekitar kami. Aku yang memang penakut, sebenarnya tak mau mendengarkan cerita itu. Tapi karena duduk kami hanya berjarak 1 meter, sudah pasti cerita itu terdengar di telingaku dan sukses membuat bulu kudukku merinding.

“Eh udah donk, takut nih!” kataku memaksa
“Tuh ada yang liat di belakang kamu. Gak usah dipikir, gak usah takut. Kalo takut justru didatengi loh.” Kata Radit sambil membacakan artikel di internet dengan suara lebih keras.
“Rese!”
“ha ha ha.” Si kepala suku hanya tertawa melihatku ketakutan.
“Udah deh itu cuma halusinasimu aja. Kalo takut ya kayak gitu jadinya. Parno!”
Enough!” kataku.

Misteri yang ada di Indonesia memang tak akan ada habisnya jika di ceritakan. Indonesia yang masih kental akan hal-hal mistik memang menyimpan sejuta misteri dan pertanyaan. Meskipun kita belum tahu kebenaran akan hal itu. Cerita mistik dari mulut ke mulut seakan menanamkan sugesti pada masyarakat bahwa hal itu memang ada. Hanya kita yang bisa menyaring, berpikir positif, dan rasional tentang cerita-cerita itu. Sama halnya dengan ujian yang sedang kami alami di sekolah. Terlalu memikirkan hasil akhir dan menjadikannya beban justru akan menanamkan energi negatif pada diri kami sendiri. Sugesti semacam itu yang kemudian akan mematahkan semangat belajar kami. Ujian sama halnya dengan cerita mistik, menyimpan misteri yang harus dipecahkan. Dan yang bisa memecahkan misteri itu hanya kita, diri kita sendiri.

Mungkin kita terlalu suntuk dengan aktifitas yang dilakukan, hingga pada suatu titik, mengalami masa kejenuhan. Adakalanya kita butuh sesuatu untuk menyegarkan pikiran yang mulai jenuh. Kita hanya butuh istirahat sejenak dan refreshing. Selanjutnya kita bisa memecahkan misteri di setiap apa yang kita lakukan. Dan kami, Semeru mungkin akan menjadi tujuan liburan dengan segala pertimbangan.

Mati Rasa  

Posted by: Farah Adiba Nailul Muna in

"Tuhan, aku rindu...
Tuhan, aku tak pernah tahu kepada siapa lagi harus bercerita. Tentang semua keluh kesah, suka, duka, dan lika liku luka. Beberapa kali memakasakan diri bercerita pada orang-orang terdekatku, hasilnya sia-sia. Tak ada satupun jawaban yang keluar dari mulut mereka mampu menenangkanku. Entah apa yang terjadi pada diriku. Aku berantakan, rasanya seperti kehilangan diriku sendiri. Kehilangan dunia yang dulu aku banggakan. Kehilangan dunia yang dulu selalu kuhiasi dengan mimpi dan cita-cita.

Apa yang salah atas diriku? Aku mulai hilang akal. Tak tahu lagi apa yang kurasakaan saat ini. Rasanya mati rasa, tanpa rasa lain. Jalan mana lagi yang harus kupilih untuk kembali menjadi diriku sendiri? Butuh waktu berapa lama untuk me-recorvery kehidupan penuh mimpi itu? Haruskah aku mengalah dan menyerah karena keadaan?"

Tahu berapa kali kutuliskan kalimat itu dalam sebuah catatan kecil? Entahlah aku tak pernah ingin tahu dan menjawabnya. Butuh waktu yang lama untuk kembali menjadi diriku sendiri. Seperti daun yang menanti tetesan embun. Seperti pohon yang menunggu cahaya matahari untuk tumbuh. Perasaan kecewa, menyesal, dan terluka mungkin masih menyelinap di antara relung hati dan mimpi. Ingin rasanya membakar dan benar-benar hilang dari perasaan itu. Kembali menjadi diriku sendiri, menjadi apa yang aku mimpikan dulu.

Ya, aku akan bangun, bangkit, berdiri, bahkan berlari. Aku akan menjadi diriku sendiri, aku akan melakukan setiap apa yang kujalani dengan penuh harapan. Berselimut doa yang kupanjatkan, semoga Allah senantiasa membukakan jalan yang terbaik. Ini saat yang tepat untuk bangkit. Mati Rasa? End.

Sebuah Oase  

Posted by: Farah Adiba Nailul Muna in

Suatu sore sepulang sekolah saya masih menyempatkan diri bercengkrama dengan teman-teman di depan kelas. Obrolan ringan dan tawa kecil sedikit merefresh otak setelah sejak tadi pagi terkuras memikirkan satu per satu materi pelajaran di sekolah. Suasana sekolah yang mulai sepi dan udara yang sejuk membawa kami terlena dalam obrolan itu. Sesaat saya terpaku oleh sekelompok anak di depan ruang perpustakaan. Terlihat mereka dengan asyiknya mendesain sebuah mading. Padahal waktu itu sudah jam pulang sekolah. Waktu yang sebetulnya mereka bisa menikmati kebebasan bermain dengan teman sebayanya, atau menikmati waktu sore untuk duduk bercengkrama dengan keluarga. Tetapi barangkali karena tugas, mereka lebih memanfaatkan waktu itu untuk mengerjakan tanggung jawab mereka. Sementara anak-anak lain sebayanya asyik menikmati kebebasan bermain di luar sana, sekelompok anak ini dengan semangat mewujudkan sebuah impian, yaitu memajang mading untuk pembaca.

Saya masih menjumpai ketekunan yang terpancar dari wajah sekelompok anak itu untuk menciptakan sebuah produk seni. Waktu itu saya beruntung, akhirnya saya melihat langsung sekelompok anak yang mengorbankan waktunya demi sebuah kegiatan positif bagi lingkungan sekitarnya. Sekejap ide-ide kreatif di benak saya muncul ketika melihat mereka beraktifitas. Serupa oase yang muncul di padang pasir, menyejukkan. Mengapa? Sebentar saja mengamati mereka, saya menemukan banyak hal positif. Mulai dari ketekunan, kerjasama, kreativitas, dan kesederhanaan terpancar dari setiap detil mading yang mereka buat. Sampai-sampai saya tak menjumpai rasa lelah dalam raut wajah mereka.

Diselingi canda dan keusilan khas remaja membuat saya tersadar bahwa sekalipun mereka berasal dari kelas dan tingkatan yang berbeda, tak nampak adanya pembeda di antara mereka. Karena mereka lebur menjadi satu demi sebuah kepentingan. Bahkan saya bisa menyimpulkan bahwa dibalik kebersamaan mereka, muncul puluhan bahkan ribuan energi kreatif yang unik dan menarik. Misalnya, untuk mempercantik sebuah mading mereka menggunakan beberapa bahan daur ulang yang jarang terpikirkan oleh kita. Perdebatan seringkali muncul disela kegiatan membuat mading, itulah menariknya sebuah karya seni. Banyak argumen dan ide menarik muncul. Bukankah itu membutuhkan tingkat kecerdasan yang tinggi untuk menghasilkan produk seni yang orisinil?

Mungkin sesuap roti pun tak akan cukup mengalihkan perhatian mereka dari mempercantik produk seni itu. Kalau sudah merasa dapat menikmati suatu aktifitas biasanya kita sering melupakan makan. Yang menjadi orientasi dan prioritas saat itu hanyalah pekerjaan segera tuntas dengan hasil yang memuaskan. Sayangnya, dalam hal ini tak hanya bakat yang dibutuhkan. Namun juga pengorbanan dan tanggung jawab yang tinggi untuk menghasilkan sebuah produk seni. Yah, itu yang disebut profesionalisme kerja.

Tak lelah saya memperhatikan setiap gerak sekelompok anak itu. Mengerjakannya dengan profesional diimbangi dengan passion yang mereka miliki, saya yakin akan mempercantik mading itu. Kerjasama, kekompakan, kesederhanaan, kreatifitas, dan semangat dalam melakukan suatu pekerjaan mungkin sudah jarang kita temui di negeri ini. Bahkan sekarang ini lebih sering kita jumpai beberapa persoalan dan pekerjaan yang tak tuntas karena kepentingan-kepentingan pribadi. Alangkah baiknya jika kita mengaca pada sekelompok anak itu bahwa kerjasama, kekompakan, kesederhanaan, kreatifitas, dan semangat akan memberikan sebuah hasil yang maksimal bagi diri sendiri dan lingkungan sekitar. Serupa oase di sebuah padang pasir.


Pahlawan Tanpa Tanda (Jasa)  

Posted by: Farah Adiba Nailul Muna in

"Pendidikan diharap mampu merubah peradaban suatu bangsa.
Namun, pada kenyataannya, bnyak insan pendidikan yg kita sebut "pahlawan tanpa tanda jasa" justru mengatasnamakan jasanya di atas segalanya.
Rasanya seperti anak kecil yg dibodohi.
Atas nama pendidikan, teori dan nasehat hanya sebuah dongeng menutupi topeng yg mulai memudar.
Mana kesantunan nurani yg pernah kalian ajarkan? Atau kehidupan sudah menyilaukan mata hati?
#kehilangan rasa hormat. go freedom!"

Sebuah Oase  

Posted by: Farah Adiba Nailul Muna in

bahkan hal ini mampu memunculkan energi kreatif yang menarik.
bahkan untuk mempercantik mading ini membutuhkan materi alam untuk sebuah produk seni.
memerlukan tingkat kecerdasan yang tinggi bukan? bahkan sesuap roti pun tak cukup mengalihkan perhatian kami dari mempercantik 'produk seni' ini.
kalau sudah merasa dapat "menikmati" pekerjaan misalnya sering lupa makan.
yang menjadi orientasi ketika itu hanyalah pekerjaan segera tuntas.
Yah, kreativitas, kerjasama, tanggung jawab, kecerdasan, dan kesederhanaan yang terpancar semoga membawa hasil yang memuaskan.
#Sebuah Oase

Yang Menjadi Segalanya Bagiku  

Posted by: Farah Adiba Nailul Muna in

Bertahun-tahun sudah menikmati setiap waktu yang ada, entah untuk apapun itu. Pernah gak sih kita bertanya pada diri sendiri "Apa sih yang udah aku lakuin selama ini? Apa sih yang paling berarti selama ini?". Well, lagi-lagi muncul pertanyaan klasik yang terdramatisasi ketika mengucapkannya. haha. Seringkali aku menghabiskan waktu senja untuk duduk bersantai di salah satu monumen di kotaku. Uniknya monumen ini di desain mirip banget sama monumen Arc de Triomphe dari Paris. Bedanya monumen Simpang Lima Gumul(SLG) berada di tengah-tengah persimpangan Lima di Gumul, Kediri. Walaupun desain dan arsitekturnya mirip dengan Arc de Triomphe, tapi ternyata ornamennya menonjolkan seni budaya asli Kediri. Di sekeliling monumen banyak banget ditumbuhi rumput yang biasa untuk santai dan ngumpul bareng temen. Klasik ya menikmati suasana senja di Arc de Triomphe ala Kediri.

Aku tak sendiri menikmati senja di monumen ini, biasanya sebotol minuman kaleng, beberapa bungkus snack, notes, kamera, dan salah seorang sahabat menjadi pelengkap rutinitas senjaku. Waktu itu di suatu senja kami duduk berdua di bawah langit yang teduh, udara yang sejuk, dan hamparan rumput yang bergoyang tertiup angin. Ketika itu mata kami tertuju pada gadis kecil yang berlari sambil tersenyum menghampiri kami.

"Halo adek manis... namanya siapa?" sapa sahabat saya

Gadis itu hanya tersenyum dan duduk di depan kami dengan manisnya. Memainkan rumput dengan jari jemarinya yang mungil sambil sesekali melirik ke arah kami. Tak lama, ibunya memanggil dengan suara yang cukup keras karena gadis itu berlarian cukup jauh dari orang tuanya.

"Adek sini, jangan ganggu kakaknya lagi ngobrol...". Tampaknya ia kaget dengan teriakan ibunya, gadis itu berlari ke arah ibunya dan bermain disana.

"Prim, sadar gak sih anak kecil tadi habis ngapain? aneh banget!" ucapku datar
"Ya biasa, namanya juga anak kecil pasti ya kayak gitu deh tingkahnya. Lucu kan?"
"Iya sih, tapi aneh. Perhatiin deh, daritadi maen dan lari-lari terus gak ada capeknya apa. Gak bisa diem banget kan?"
"Dia kan masih kecil, masih polos. Jarang-jarang kan di genit in sama anak kecil kayak gitu." Kata Prima sambil tertawa kecil
"Whatever lah"
"Biarin aja lah, biar dia menikmati masa kecilnya yang indah. Biasanya kita juga kangen masa kecil kita kan?"

Aku diam, kami berdua sama-sama diam. Orang-orang bercengkrama di sekeliling monumen, ada yang dengan keluarga, sahabat, pacar, dan banyak yang lainnya. Deru suara motor di jalanan menjadi tontonan yang biasa karena posisi monumen ini tepat di tengah jalan persimpangan lima. Hanya diam dan sesekali menghembuskan nafas panjang seolah menenangkan diri.

"Apa sih yang kita cari disini?" Kataku mengagetkan Prima
"Pengen santai. Bosen kan tiap hari dengan rutinitas yang itu-itu aja."
"Kapan ya bisa kayak anak kecil tadi. Lari-lari, tanpa beban, bebas nglakuin apa aja yang dia suka. Yang ada dipikirannya cuma maen dan maen. gak ada yang lain!"
"Kan selama ini kita udah melewati semua itu. Gak mungkin kan kita kembali ke masa lalu."
"Ya enggak sih, rasanya sekarang gak bisa enjoy aja. Yang salah siapa donk kalau gitu? Kita? atau keadaan?"
"Gak ada yang salah sih. Mungkin kita sering lupa sama Tuhan, membiarkan diri kita terlena dengan apa yang namanya tanggung jawab. Sekarang kita udah jadi diri kita sendiri. Bedanya sama anak kecil tadi, dia masih mencari siapa dirinya."
"Iya ya, sudah saatnya kita mendewasa tanpa mengeluhkan apa yang terjadi. Mungkin keluhan-keluhan yang menumpuk itu membuat aku lupa siapa di balik semua ini. Tuhan."
"Life must go on kan?"
"Yah, Tuhan yang membuat kita kuat."

Dia hanya membalasnya dengan senyuman.

Ada satu hal yang perlu aku sadari dalam hidup ini. Yang mungkin selama ini hilang entah kemana. Yang jarang disadari oleh remaja seusiaku. Bahwa sebenarnya Allahlah segalanya. Yang memberi hidup dan kehidupan. Maha pembolak balik hati. Sang pemilik segalanya. Hanya Allahlah yang memiliki segalanya, penolongku, cahaya terang di saat nurani mulai goyah, petunjuk saat otak mulai kehilangan logika, Maha segalanya. Dialah tujuan dari segala tujuan. Allahlah yang berhak atas nafasku, atas jiwaku, atas ragaku, ilmuku, atas jalan hidupku. Jalan hidup yang aku pilih tanpa paksaan. Karena semua ini milikNya.

Galau vs Passion  

Posted by: Farah Adiba Nailul Muna in

Bisa dibilang ini adalah masa galau dan fase tersulit seorang anak SMA menuju masa depan (Haha puitis banget). Tentang sebuah pilihan mau kuliah, kerja, atau mungkin mau nikah. hehe. Yah, dihadapkan pada suatu kondisi dan pilihan tentang masa depan yang bisa dibilang sih menjadi penentu langkah selanjutnya. Ada seorang temen yang berkali-kali tanya "gimana sih enaknya mau kuliah dimana ya? mau ngambil jurusan apa? bingung nih." nah, yang kuliah dia malah nanya balik ke aku. haha. Well, itu wajar! Jangan kaget kalau lagi musim UNAS gini semua anak SMA pada tegang, bingung, dan ngabisin duit jajan buat ngenet (baca: search Perguruan Tinggi, SNMPTN). Bisa aku pastiin kegalauan hampir menjadi bagian dari para siswa SMA di seluruh Indonesia. Mulai dari pemilihan jurusan, sampai ke tahap yang paling galau dari semua kegalauan di zaman SMA:

Mau masuk ke mana, dan ambil jurusan apa pas kuliah nanti?

Melalui tulisan ini, saya akan mencoba untuk memberikan pendapat mengenai fenomena kegalauan ini dari sudut pandang seorang calon MABA (Mahasiswa Baru). Semoga dengan tulisan ini aku, kamu, dan siapapun yang lagi galau gak akan mengalami depresi karena salah jurusan. Well, its the time to share my opinion for you:

1. Paradigma dan Masa Depan
Coba deh kita perhatiin, banyak orang tua kita yang bilang "kamu pantesnya kuliah di Kedokteran. Tuh liat prospeknya bagus. Gajinya Gede." atau mungkin "gak pantes kamu ambil jurusan itu. mau jadi apa kamu nanti?" dan bla bla bla dengan segudang alasan. Mungkin orang tua kita pernah bicara seperti itu. Niatnya sih mau ngasih pilihan yang tepat buat kita nantinya. Selama ini pemilihan jurusan selalu dikaitkan dengan prospek masa depan. Entah itu karena gaji, kualitas kehidupan, dan kemudahan lapangan kerja. Parameter seperti itulah yang selalu dikaitkan dengan pemilihan jurusan. Nah, mulai bingung deh kalau masih terikat dengan paradigma yang kayak gitu. Gak bakalah ada yang benar di mata kita kalau kita selalu menjadikan hal tersebut sebagai parameter kualitas kehidupan kita. Percaya deh, sekalipun pilihan kamu di anggap rendah dan buruk, pasti ada jalan yang lebih baik nantinya.

2. Penyakit Khas Indonesia
Gengsi, sebuah kebodohan yang menurut saya mengakar dengan sangat kuat di kehidupan masyarakat Indonesia. Gengsi ini begitu mengakarnya, sehingga terkadang passing grade suatu jurusan pun sering menjadi dinding yang secara tak langsung memisahkan kehidupan sosial antar mahasiswa. Terkadang seseorang akan dianggap hebat, dan dipandang sebagai golongan elit apabila dia sanggup masuk ke jurusan yang standar passing grade-nya tinggi. Sehingga adalah hal yang bisa dimaklumi jika para remaja yang memang sedang berada di fase pencarian identitas, dan pengakuan, akan tergiur untuk masuk ke dalam golongan “elit” ini.

3. Passion Is the Real Dream
Banyak orang sudah cukup puas dengan gaji yang tinggi, rumah, mobil, dan semua yang mereka inginkan terwujud. Tapi ada juga yang berpikir "kok selama ini aku menghabiskan waktu dengan sesuatu yang membosankan ya. Cuma itu-itu aja.". Nah passion is the real dream, dimana kamu bisa menggunakan passion kamu untuk sebuah jalan untuk meraih mimpi kamu. Ada yang mau jadi penulis, penyanyi, desainer, dan apapun itu yang kamu inginkan. Semuanya sih sah-sah aja, selama itu bisa buat kamu nyaman dan gak ngerugiin orang lain. Oke sekarang kamu harus tahu dan kejar passion kamu demi masa depan.

Nah, apa sih passion itu?

"Sesuatu adalah passion kita, jika ketika kita mengerjakan hal tersebut, maka waktu akan berlalu dengan cepat. Badan dan pikiran kita pun akan rileks dan enjoy mengerjakannya, entah itu 5 menit, sejam, 5 jam, ataupun seharian, tidak akan ada bedanya. Pada kenyataannya, terkadang kita sama sekali tidak merasa perlu untuk beristirahat, bahkan ketika mengerjakan sesuatu yang pada umumnya orang anggap sebagai sesuatu yang teramat melelahkan."

Terdengar seperti kisah dongeng kah? Ya, memang saya akui ini terdengar berlebihan, tapi inilah kenyataannya. Ketika kita melakukan sesuatu yang kita senangi, maka semua waktu akan berjalan tanpa terasa. Pernahkah kita merasakan seakan-akan kita terbenam ke dalam suatu hal sampai lupa waktu? Seperti itulah kira-kira rasanya menjalankan passion kita. Dan passion inilah sebuah hal yang memungkinkan kita untuk membuat sebuah masterpiece di dalam hidup kita.

4. Time = Masa Depan
Gak ada lagi yang namanya santai. Betapa waktu sangat berharga untuk menentukan kualitas diri kita. Siapa yang menghargai waktu, dialah yang menghargai masa depannya. Kamu boleh mimpi setinggi langit, gak ada yang nglarang. Tapi inget, semua itu gak akan terwujud kalau kamu gak pernah menghargai setiap detik waktu yang ada untuk mempersiapkan masa depan kamu. Sama halnya dengan pemilihan jurusan, setiap saat kamu harus siap dan mempersiapkan segala sesuatu yang akan kamu butuhkan nanti pas Kuliah. Why? Prepare for future is the importent thing. Kesimpulannya, persiapkan diri kamu, mimpi kamu, dan apapun yang akan kamu pilih mulai dari sekarang. satu-satunya waktu yang bisa berubah hanya masa lalu. Masa depan belum terbentuk, hari ini yang membentuk kamu sukses di masa depan nanti. Waktu yang akan membuktikan dengan segala caranya.

5. The "X" Factor
Last but not Least. The X factor yang dimaksud bukan acara yang lagi hits di Tv itu tuh. X Factor adalah faktor yang paling menentukan apakah kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan. Faktor X ini biasa orang sebut 'LUCK' yap keberuntungan. Tapi menurut saya itu lebih dari apa yang namanya keberuntungan. Keberuntungan bisa aja datang sekali, dua kali. Tapi, Faktor X yang saya maksud adalah 'DOA'. Jadi keberuntungan akan datang dan berpihak pada siapapun yang berdoa. Mustahil jika kita menginginkan sesuatu yang besar tapi hanya dengan usaha yang kecil. Percaya, Tak ada hal luar biasa yang dicapai dengan cara Biasa. Dan cara luar biasa itu adalah Doa dan Usaha.

Finnaly, Kejarlah apa yang menjadi passion kamu. Lupakan saja gaji dan gengsi. Karena mengejar passion akan membuat kamu lebih mudah mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan kamu gak akan pernah menyesal ketika kamu menjalankan dan mengejar passion kamu. Karena itu jati dirimu. Gunakan waktu sebaik-baiknya demi masa depan kamu. Waktu kamu sudah tiba untuk membuka mata meraih mimpi. Percaya deh, setiap apa yang kita impikan dan inginkan pasti akan terwujud. Tuhan gak akan tidur kok untuk selalu mendengar doa hamba-hambanya. Mungkin kita butuh waktu yang panjang untuk mewujudkan apa yang kita inginkan, tapi suatu saat akan ada masa dimana kita akan tersenyum dan memandang kebelakang sambil bilang:

"Untung dulu saya mengejar apa yang menjadi Passion saya"

Ps: Jangan buat komitmen yang salah yang kemudian akan kamu sesali sepanjang usia.

UNTITLED FREEDOM!  

Posted by: Farah Adiba Nailul Muna in

Demi Hedonisme.
Demi Idealisme.
Demi Fanatisme.
Demi Kekuasaan.
Demi apapun yang di banggakan manusia di dunia.
Dan demi... demi...
Demikianlah...
sebuah ironi ketika kebebasan menjadi raja...
Demikianlah...
semua menyita waktu, menguras pikiran, mematahkan logika.
Euforia tanpa alasan.
Tanpa tujuan
dan tanpa apapun hingga kita tak menyadari bahwa ternyata hampa.
Tak pantas dibanggakan.
"kamu juga seseorang yang hebat"

Untitled – Simple Plan Lyrics & Listen  

Posted by: Farah Adiba Nailul Muna

Untitled – Simple Plan Lyrics & Listen

Masterpiece  

Posted by: Farah Adiba Nailul Muna in

akan ada sebuah waktu dimana kita akan berdiri penuh rasa bangga. The winner stands alone


Menjadi sangat tertantang ketika melihat banyak novel karya teman-temanku terpampang di toko-toko buku, atau merasa tergerak ketika banyak karya tulis dari teman-temanku juga berhasil menjadi jawara. Yah, semakin hari seperti mendapat sebuah tekanan batin kenapa aku tak beranjak pergi dari rasa suntuk dan segera take action. Menjadi sebuah hal penting bagiku ketika suatu saat aku bisa membanggakan Ayah, Bunda, dan mereka semua yang kukenal dengan sebuah ‘masterpiece’ yang bisa kupersembahkan.

Waktu demi waktu berlalu. 1 tahun pun terasa amat singkat yang dipenuhi dengan rutinitas ‘pemimpi’ untuk menjadi seorang penulis. Alunan musik mellow, secangkir kopi, udara sejuk, suasana café yang klasik, dan menjadi penikmat kesunyian adalah sebuah fragmen yang bisa dibilang ‘aku banget’. Ketika menikmati secangkir kopi di salah satu café klasik di Kotaku, Kediri. Muncul sebuah pertanyaan yang seringkali membayangiku sebelum tidur, pertanyaan lama yang kerapkali menghabiskan waktu lamunanku. “Udah menciptakan sejarah apa tahun ini? Gimana dengan mimpimu?”. Orang lain boleh bilang itu hanya pertanyaan bodoh dan tak penting. Tapi bagiku, itu menjadi sangat menantang untuk membuktikan seberapa besar mimpi dan cita-citaku.

Beberapa pertanyaan lain juga kerapkali dilontakan oleh teman seperti, “Gimana udah kirim novel kemana? Kapan mulai terbit?”. Pertanyaan-pertanyaan itu semakin menguras tenaga dan pikiranku setiap waktu. Hmh, tampaknya harus segera take action untuk menjawab semua pertanyaan itu. Tapi sepertinya bukan hanya take action yang dibutuhkan, juga diperlukan konsisten melangkah satu persatu melewati tujuan-tujuan kecil untuk meraih tujuan tertinggi. Tak mudah memang, tapi apa salahnya belajar ‘mendisiplinkan diri’ demi sebuah mimpi.

Sebagai seorang pelajar SMA yang beberapa bulan lagi akan menjadi mahasiswa, akan sangat penting dan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri ketika masa muda ini dipenuhi dengan ‘masterpiece’ (karya agung). Itu adalah mimpi, mimpi untuk menciptakan masa muda yang indah dan bisa diabadikan menjadi sebuah masterpiece. Tahun ini, tak ada harapan yang lebih indah selain mewujudkan setiap mimpi. Melakukan apa yang bisa aku lakukan dan menjadi yang terbaik. Seiring berakhirnya tulisan ini, semoga selalu terbuka jalan terbaik di setiap waktu dan kesempatan yang kita dapatkan dan semoga Tuhan senantiasa meridhoi setiap langkah yang kita pilih. Amiiin.