EKSPRESI TANPA BATAS…  

Posted by: Farah Adiba Nailul Muna in

Yeah, waktu itu tak sengaja mataku memandang setumpuk buku di sudut ruang. Ruang bercat hijau dengan lukisan pohon di dindingnya. Di beberapa sudut tertempel kata-kata motivasi dan beberapa hasil jepretan si kamera. Di lantainya juga berserakan draft dan coretan tentang masa depan. Meski tak terlihat rapi, ya semoga kelak ruangan ini bisa menjadi saksi bagaimana sebuah karya terlahir. Apapun yang tergambar dari ruangan ini, tetap saja buku di sudut meja itu menarik perhatianku untuk mengamatinya. Sejurus kemudian, aku berjalan penuh tanda tanya mengamati tumpukan buku itu. Buku-buku berdebu itu terlihat usang dan kurang terawat, mungkin ada unsur pembiaran karena si penulis buku itu malu bahkan takut untuk membaca kembali kenangan masa itu. Dan si penulis itu adalah saya sendiri.

Meniup debu dari buku yang sudah lama tak terpakai menjadi hal unik untuk saya. Rasanya ada sepotong fragmen yang tak boleh dilewatkan. Seperti ada nuansa masa lalu yang memberontak ingin dikenang hingga kini. Mari kembali beralih pada setiap bagian di buku ini dengan tulisan yang acak-acakan. Lembar demi lembar, setiap foto yang tertempel, coretan demi coretan dari tinta warna yang mulai luntur menghiasi setiap lembar dalam buku itu. Bercerita tentang setiap proses pencapaian mimpi. Saya teringat ketika pertama kali menulis pada lembaran buku itu, sebagai seorang anak yang menuangkan ide dan pikirannya pada sebuah buku dengan perasaan bangga dan bahagia. Waktu itu saya berpikir bahwa setiap apa yang saya tuliskan bisa menjadi kenangan dan saksi perjalanan hidup yang tak terbantahkan, yang tentunya saya tulis sendiri.

Tanpa disadari sayapun mulai tertawa geli membaca tulisan-tulisan itu, padahal menertawakannya sama artinya menertawakan masa lalu yang terekam dalam buku itu. Yah memang benar-benar ingin tertawa dan


ketika membaca tulisan anak SMP -waktu itu-. Terlihat sekali perbedaan tulisan-tulisan saya waktu dulu ketika masih SMP dengan sekarang, ya karena dulu lagi trend tulisan alay jadi diary ini juga memakai gaya bahasa alay. Hehe. Jika dikaji lebih mendalam sebenarnya jauh sekali dari teknik penulisan yang baik dan benar. Walaupun sekarang saya masih aktif menulis diary dan tulisan lainnya, saya masih merasa tulisan ini jauh dari kata sempurna. Selalu ada perasaan yang berkecamuk untuk mendoktrin bahwa tulisan saya jelek.

Namun dari semua itu, terlepas dari berbakat atau tidak, saya tetap merasa bangga dengan tulisan-tulisan itu yang menjadi bagian dari perjalan hidup saya sebagai seorang penulis. Setiap momen yang saya tulis menjadi sebuah cerita sekan mampu memutar kembali imajinasi saya ke masa lalu yang penuh kenangan. Memang terkadang momen-momen itu memenuhi ruang otak dan menjadi penyuntik semangat untuk tetap berkarya dalam keadaan apapun. Setiap proses yang dilalui demi sebuah impian menjadi seorang penulis terus mewarnai setiap lembar diary menjadi sebuah rangkaian cerita.
Waktu itu ketika masih duduk di bangku SMP memang sudah terbayang bagaimana rasanya menjadi seorang penulis. Tanpa pikir panjang waktu itu, saya deskripsikan bahwa seorang penulis hanyalah seseorang yang bisa mengekspresikan berbagai hal dan suasana tanpa harus berpikir keras dan mengorbankan waktu, juga tidak menguras tenaga, hanya menuangkan setiap rasa dan ide yang berkecamuk dalam otak dengan tambahan sedikit bumbu dan meramunya menjadi sebuah cerita.

Bagi saya menulis adalah sebuah wahana ekspresi tanpa batas. Sebuah cara pelampiasan yang saya pikir tidak akan merugikan siapapun. Hanya saya dan tulisan itu yang tahu. Bahkan mungkin jika tulisan-tulisan itu dibaca orang lain akan menjadi sebuah cara unik untuk berbagi dan share tentang apapun. Menulis adalah sebentuk ekspresi indrawi untuk meluapkan segala emosi, keluh kesah, canda tawa, dan bahagia.

Yah, pikiran yang dulu sesimple itu kini mampu menuliskan berbagai cerita. Cerita yang terkadang jauh dari realita. Seiring berjalannya waktu, sayapun mulai ‘serius dan bertanggung jawab’ atas pemikiran masa lalu itu. Membuka kembali diary itu membuat saya sadar bahwa ada sebongkah impian yang harus ‘dipertanggungjawabkan’ sekarang dan di masa depan, mimpi untuk menjadi seorang yang dibanggakan dan memiliki sesuatu untuk tetap dikenang hingga nanti. Yah, semacam pembuktian diri atas sebentuk cita-cita yang tertanam sejak kecil.

Terasa sekali perbedaan dalam diri saya ketika menulis diary di masa lalu dibanding tulisan-tulisan saya sekarang ini. Diary masa lalu saya mencerminkan bahwa dulu ketika menulis hanya sedikit sekali pesan yang tersampaikan. Hanya sebuah tulisan yang mewakili segala emosi dari sebuah momen yang benar-benar terjadi, tertuang jujur dalam tulisan tersebut. Hingga kini tulisan-tulisan masa lalu itu menjadi semacam kekuatan dan kebanggaan bagi diri sendiri bahwa saya bisa dan mampu merangkai kata demi kata menjadi sebuah kalimat yang indah.

Setelah sekian lama lelah berlari melewati setiap proses menggapai impian untuk menjadi seorang penulis. Setumpuk diary di sudut ruangan itu mengingatkan saya untuk berhenti menulis dalam konteks yang lain. 2 tahun terakhir ini saya lebih sering menghabiskan waktu menulis di laptop. Lebih simple dan mengurangi kram di tangan. Tapi kekuatan menggoreskan pena di setiap lembar buku tetap memanggil nurani saya untuk kembali menuliskan setiap momen pada diary bukan pada alat digital. Goresan demi goresan yang mewarnai setiap cerita memiliki kesan tersendiri, karena dari goresan itu saya belajar dari kesalahan untuk melewati proses selanjutnya. Lebih tepat dikatakan bahwa saya rindu menulis dengan segala emosi yang mewakili setiap momen. Dimana saya sangat leluasa dan bebas menuliskan setiap ekspresi tanpa batas dari ladang harapan yang tak pernah mati. Hati.

This entry was posted on 08.42 and is filed under . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 komentar

Posting Komentar

EKSPRESI TANPA BATAS…  

Posted by: Farah Adiba Nailul Muna in

Yeah, waktu itu tak sengaja mataku memandang setumpuk buku di sudut ruang. Ruang bercat hijau dengan lukisan pohon di dindingnya. Di beberapa sudut tertempel kata-kata motivasi dan beberapa hasil jepretan si kamera. Di lantainya juga berserakan draft dan coretan tentang masa depan. Meski tak terlihat rapi, ya semoga kelak ruangan ini bisa menjadi saksi bagaimana sebuah karya terlahir. Apapun yang tergambar dari ruangan ini, tetap saja buku di sudut meja itu menarik perhatianku untuk mengamatinya. Sejurus kemudian, aku berjalan penuh tanda tanya mengamati tumpukan buku itu. Buku-buku berdebu itu terlihat usang dan kurang terawat, mungkin ada unsur pembiaran karena si penulis buku itu malu bahkan takut untuk membaca kembali kenangan masa itu. Dan si penulis itu adalah saya sendiri.

Meniup debu dari buku yang sudah lama tak terpakai menjadi hal unik untuk saya. Rasanya ada sepotong fragmen yang tak boleh dilewatkan. Seperti ada nuansa masa lalu yang memberontak ingin dikenang hingga kini. Mari kembali beralih pada setiap bagian di buku ini dengan tulisan yang acak-acakan. Lembar demi lembar, setiap foto yang tertempel, coretan demi coretan dari tinta warna yang mulai luntur menghiasi setiap lembar dalam buku itu. Bercerita tentang setiap proses pencapaian mimpi. Saya teringat ketika pertama kali menulis pada lembaran buku itu, sebagai seorang anak yang menuangkan ide dan pikirannya pada sebuah buku dengan perasaan bangga dan bahagia. Waktu itu saya berpikir bahwa setiap apa yang saya tuliskan bisa menjadi kenangan dan saksi perjalanan hidup yang tak terbantahkan, yang tentunya saya tulis sendiri.

Tanpa disadari sayapun mulai tertawa geli membaca tulisan-tulisan itu, padahal menertawakannya sama artinya menertawakan masa lalu yang terekam dalam buku itu. Yah memang benar-benar ingin tertawa dan


ketika membaca tulisan anak SMP -waktu itu-. Terlihat sekali perbedaan tulisan-tulisan saya waktu dulu ketika masih SMP dengan sekarang, ya karena dulu lagi trend tulisan alay jadi diary ini juga memakai gaya bahasa alay. Hehe. Jika dikaji lebih mendalam sebenarnya jauh sekali dari teknik penulisan yang baik dan benar. Walaupun sekarang saya masih aktif menulis diary dan tulisan lainnya, saya masih merasa tulisan ini jauh dari kata sempurna. Selalu ada perasaan yang berkecamuk untuk mendoktrin bahwa tulisan saya jelek.

Namun dari semua itu, terlepas dari berbakat atau tidak, saya tetap merasa bangga dengan tulisan-tulisan itu yang menjadi bagian dari perjalan hidup saya sebagai seorang penulis. Setiap momen yang saya tulis menjadi sebuah cerita sekan mampu memutar kembali imajinasi saya ke masa lalu yang penuh kenangan. Memang terkadang momen-momen itu memenuhi ruang otak dan menjadi penyuntik semangat untuk tetap berkarya dalam keadaan apapun. Setiap proses yang dilalui demi sebuah impian menjadi seorang penulis terus mewarnai setiap lembar diary menjadi sebuah rangkaian cerita.
Waktu itu ketika masih duduk di bangku SMP memang sudah terbayang bagaimana rasanya menjadi seorang penulis. Tanpa pikir panjang waktu itu, saya deskripsikan bahwa seorang penulis hanyalah seseorang yang bisa mengekspresikan berbagai hal dan suasana tanpa harus berpikir keras dan mengorbankan waktu, juga tidak menguras tenaga, hanya menuangkan setiap rasa dan ide yang berkecamuk dalam otak dengan tambahan sedikit bumbu dan meramunya menjadi sebuah cerita.

Bagi saya menulis adalah sebuah wahana ekspresi tanpa batas. Sebuah cara pelampiasan yang saya pikir tidak akan merugikan siapapun. Hanya saya dan tulisan itu yang tahu. Bahkan mungkin jika tulisan-tulisan itu dibaca orang lain akan menjadi sebuah cara unik untuk berbagi dan share tentang apapun. Menulis adalah sebentuk ekspresi indrawi untuk meluapkan segala emosi, keluh kesah, canda tawa, dan bahagia.

Yah, pikiran yang dulu sesimple itu kini mampu menuliskan berbagai cerita. Cerita yang terkadang jauh dari realita. Seiring berjalannya waktu, sayapun mulai ‘serius dan bertanggung jawab’ atas pemikiran masa lalu itu. Membuka kembali diary itu membuat saya sadar bahwa ada sebongkah impian yang harus ‘dipertanggungjawabkan’ sekarang dan di masa depan, mimpi untuk menjadi seorang yang dibanggakan dan memiliki sesuatu untuk tetap dikenang hingga nanti. Yah, semacam pembuktian diri atas sebentuk cita-cita yang tertanam sejak kecil.

Terasa sekali perbedaan dalam diri saya ketika menulis diary di masa lalu dibanding tulisan-tulisan saya sekarang ini. Diary masa lalu saya mencerminkan bahwa dulu ketika menulis hanya sedikit sekali pesan yang tersampaikan. Hanya sebuah tulisan yang mewakili segala emosi dari sebuah momen yang benar-benar terjadi, tertuang jujur dalam tulisan tersebut. Hingga kini tulisan-tulisan masa lalu itu menjadi semacam kekuatan dan kebanggaan bagi diri sendiri bahwa saya bisa dan mampu merangkai kata demi kata menjadi sebuah kalimat yang indah.

Setelah sekian lama lelah berlari melewati setiap proses menggapai impian untuk menjadi seorang penulis. Setumpuk diary di sudut ruangan itu mengingatkan saya untuk berhenti menulis dalam konteks yang lain. 2 tahun terakhir ini saya lebih sering menghabiskan waktu menulis di laptop. Lebih simple dan mengurangi kram di tangan. Tapi kekuatan menggoreskan pena di setiap lembar buku tetap memanggil nurani saya untuk kembali menuliskan setiap momen pada diary bukan pada alat digital. Goresan demi goresan yang mewarnai setiap cerita memiliki kesan tersendiri, karena dari goresan itu saya belajar dari kesalahan untuk melewati proses selanjutnya. Lebih tepat dikatakan bahwa saya rindu menulis dengan segala emosi yang mewakili setiap momen. Dimana saya sangat leluasa dan bebas menuliskan setiap ekspresi tanpa batas dari ladang harapan yang tak pernah mati. Hati.

This entry was posted on 08.42 and is filed under . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 komentar

Posting Komentar